Oleh karena keterbatasan ekonomi pula, Masud tak bisa memberi banyak kepada anak-anaknya. Buku bacaan, misalnya. Padahal ia tahu, buku cerita sangat penting untuk pendidikan budi pekerti anak-anak. Toh, Masud tak hilang akal. Di kala senggang, ia membuat sendiri komik sendiri. "Saya jilid dan fotokopi. Komik itulah yang jadi bacaan anak-anak. Malah kadang anak-anak tetangga juga pinjam."
Di rumah sederhana namun lumayan luas itu, terasa kehangatan keluarga besar ini. Selain ruang keluarga yang dilengkapi teve, "Ada lima kamar tidur. Sebagian anak tidur di ruang teve. Kalau sore, kadang saya membacakan komik untuk anak-anak yang belum bisa membaca," kata Masud yang sudah membuat lebih dari 20 komik, antara lain Lumpang Emas, Si Ragil yang Cerdik, dan Asal-Usul Burung Pipit.
Sebagai keluarga besar, kata Masud, banyak hal yang membahagiakan. Ia, misalnya, tak menduga ketika anaknya masih 17, ada media yang memberitakan keluarganya. Setelah itu, beberapa media, termasuk media asing dari Jepang dan Korea, tertarik meliput. Pemberitaan tentang mereka pun kerap memberi rezeki tersendiri.
"Waktu itu, anak ke-21, Agung Siti Maemunah, menderita diare dan harus dirawat di rumah sakit. Kami bingung, enggak punya uang untuk bayar rumah sakit. Eh, ada suami-istri datang membayari semua kebutuhan. Bahkan, mereka mengantar sampai rumah. Buat saya, mereka seperti malaikat."
Masud memang meyakini, tak perlu cemas menghadapi hidup. Bahkan di saat sulit. Situasi susah pernah dialami ketika Halimah melahirkan anak ke-13 yang diberi nama Nuh. Biaya perawatan di bidan tak bisa ditebus. Sambil berdoa, Masud mencelup kain 3 meter untuk proses batik. Kain berwarna merah tua itu dijemur di jalanan depan rumahnya. Tanpa diduga, "Ada orang bermobil lewat rumah, tiba-tiba berhenti. Rupanya pemilik mobil itu tertarik dengan kain celup saya. Ternyata dia juragan batik. Langsung, deh, saya dikasih banyak order dan uang muka. Saya pun bisa membayar biaya bidan."
Pernah juga pasangan ini perlu biaya sekitar Rp 1 juta saat kelahiran Sabrina, anak ke-19. "Saya enggak punya uang, order juga lagi sepi. Untunglah, anak-anak yang sudah bekerja patungan untuk menebus biaya perawatan adiknya," kata Masud seraya menuturkan, menjelang Lebaran adalah saat-saat yang lumayan berat. "Paling saya hanya bisa memberi masing-masing satu baju. Kalaupun tidak ada baju baru, anak-anak juga nrimo."
Berbagai kemudahan memang kerap menghampiri keluarga Masud. Pernah, kisah Masud, tiba-tiba saja di depan rumahnya ada beberapa kardus berisi susu dan kebutuhan sembako lainnya di saat mereka memang sedang memerlukan. "Rupanya ada dermawan yang membantu tapi tidak ingin diketahui identitasnya. Pagi-pagi sekali, ketika saya buka pintu, sudah ada kardus itu. Kami sangat bersyukur."
Yang jelas, katanya, ia berprinsip tidak akan pernah minta bantuan orang lain. "Tapi kalau ada yang berkenan membantu, tentu saya tidak kuasa menolak," kata Masud. Tak sedikit pula keluarga yang berniat mengadopsi anaknya. Saat anak ke-15, Adib, masih bayi, ada satu keluarga yang ingin secara resmi mengadopsi. Bahkan, Masud diiming-imingi benda berharga. "Awalnya saya ditawari teve dan disuruh memilih sepeda motor baru. Karena saya menolak, ia datang dengan membawa mobil baru. Katanya, saya akan dikasih mobil asalkan Adib saya relakan untuk diasuh. Tapi saya keberatan," kisah Masud.
Anak bungsu Masud juga ingin diadopsi priayi asal Bali. "Ia masih keturunan raja dan sudah 16 tahun menikah tapi belum dikaruniai anak. Kalau si bungsu boleh diadopsi, saya akan dikasih tanah di Bali senilai hampir Rp 1 M. Saya dan Halimah tidak mau anak kami diadopsi meski kami bisa dapat banyak uang."
Gemerlapnya dunia, tak membuat pasangan ini silau. Masud dan Halimah bertekad membesarkan anak-anak mereka sendiri. "Kami sangat percaya, anak-anak membawa rezeki masing-masing."
Henry Ismono
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR