Saat banyak orang masih terlelap tidur, Masud sudah bangun untuk menanak nasi yang harus siap sebelum jam 06.00. Tak kurang dari 5 Kg beras yang ditanaknya. Usai itu, ia membangunkan anaknya satu persatu. Setelah salat Subuh, mandi, mereka pun makan berteman lauk sayur dan kerupuk sebelum berangkat sekolah.
"Pas makan bareng, rumah jadi seru. Piring yang ada, tidak cukup. Nampan pun dipakai. "Anak-anak makan bersama di satu nampan. Ada juga yang pakai tutup panci," kisah Halimah.
Begitulah riuh-rendahnya rumah pasangan Masud-Halimah. Pasangan yang menikah pada 1979 ini, tak pernah membayangkan bakal dikaruniai sekian banyak anak. Hampir setiap setahun, sejak menikah di usia 15, Halimah melahirkan. "Waktu si sulung Yusron umur 6 bulan, Halimah sudah hamil lagi." Begitu seterusnya hingga anak mereka berjumlah 21 orang.
"Saya memang enggak ikut KB. Takut ada efeknya," kata Halimah yang selalu menggunakan jasa bidan di tiap persalinan. "Sering, sih, disuruh ikut KB oleh petugas kesahatan. Malah pernah ditegur. Tapi saya takut ikut KB," kata Halimah.
Pernah, tutur Halimah, ia "menyerah" akan ikut KB gara-gara mengalami keguguran saat hamil anak ke-22. Apa mau dikata, detik-detik menjelang operasi, "Saya takut melihat alat-alat operasi. Apalagi, kata dokter, badan saya agak gemuk jadi prosesnya agak lama. Akhirnya saya cuma dikuret." Kalau hamil lagi? "Ya, enggak apa-apa. Anak, kan, rezeki dari Tuhan."
Dari sekian puluh anaknya itu, sebagian sudah bisa mandiri dan membantu keuangan keluarga. "Tiga anak kami kerja di Bali, jadi perajin batik. Dua lainnya sudah kawin dan punya anak. Nah, anak-anak yang sudah mandiri, gantian membantu adik-adiknya. Khusus untuk yang sudah menikah, saya enggak mau membebani. Mereka, kan, sudah harus memikirkan rumah tangganya," jelas Masud yang sejak dulu bekerja sebagai perajin batik.
Sebagian anaknya memang masih dalam usia sekolah. "Satu masuk SMA, tiga di SMP, empat orang di SD, dan dua belum sekolah. Dari 21 anak, ada tiga yang meninggal waktu mereka masih kecil. Total, anak kami sekarang 18, masing-masing 9 lelaki dan 9 perempuan."
Meski memiliki sekian banyak anak, Masud mengaku berusaha memberi pendidikan sebaik-baiknya. "Tentunya sesuai kemampuan saya. Sesuai wajib belajar dari Pemerintah karena saya hanya mampu menyekolahkan anak sampai setingkat SMP. Hanya satu yang masuk SMA, itu pun atas bantuan Pak Bupati."
Sejak dini pula anak-anak itu dilatih mandiri. Anak yang sudah besar bertugas bersih-bersih rumah, mencuci pakaian, dan mengurus adik-adik yang masih kecil. "Begitu anak-anak masuk SD, saya sudah mendidik mereka mandi sendiri. Masuk SMP, mereka sebaiknya mencuci pakaian sendiri," kata Masud yang rumahnya kebetulan bersebelahan dengan musala sehingga bisa menanamkan pendidikan agama kepada anaknya sejak belia.
"Dengan pendidikan agama yang kuat, saya harap mereka bisa selalu bersyukur. Anak-anak saya ajari untuk menerima keadaan keluarga apa adanya. Mereka bisa terima, kok. Dikasih uang saku berapa pun, anak-anak enggak protes. Saya katakan, tak perlu banyak jajan. Kalau uang jajan banyak, yang dipikir bukan pelajaran. Syukurlah, semuanya menurut omongan orangtua. Itulah yang membuat saya tidak begitu berat meski banyak anak. Kami sekeluarga bisa saling gotong-royong," ungkap Masud yang bersama keluarga pernah tinggal di Bali.
Henry Ismono / bersambung
KOMENTAR