Setelah Aira meninggal, Anisa masih dirawat hampir sebulan di sana. Berhubung kami tidak mampu membayar biaya perawatan Anisa, akhirnya pemerintah memberi keringanan dan merujuk Anisa ke RS Sulianti Saroso. Yang kami sayangkan, RS Hermina Podomoro merujuk pada jam 01.00 dan tubuh bayi kami dibawa tanpa kain pelapis alias telanjang. Kasihan sekali anakku!
Yang aneh lagi, ketika ditimbang di RS Sulianti, berat badan Anisa hanya 1 Kg. Padahal, kata suster di RS Podomoro, berat Anisa naik terus hingga 1,3 Kg. Entahlah mana yang benar. Yang pasti, sebulan Anisa dirawat di RS Sulianti, pertumbuhannya menggembirakan. Sampai sekarang ia tumbuh sehat.
Bila dibilang kecewa tak jadi mendapat anak kembar, pasti aku kecewa. Oleh karena itu aku mendukung suamiku melaporkan Bambang dan Jhonwan ke polisi. Agar jadi pelajaran untuk rumah sakit lain, dan agar orang lain tidak perlu mengalami kejadian seperti aku.
Hari Senin (26/4), ditemani kuasa hukumnya, Sunardjo Sumargono, Erdiansah melaporkan dr. Bambang W.S (dokter kandungan, Red.) dan dr. Jhonwan (dokter anak yang menangani Aira, Red.) ke Polda Metro Jaya. Alasannya. "Pada banyak kasus di bidang kesehatan, kebanyakan adalah kelalaian personality, bukan profesi. Ini kriminal murni. Kami juga akan menggugat secara perdata," tegas Sunarjo.
Menanggapi gugatan itu, Manajer Pelayanan Medis RS Hermina Podomoro, dr. Imelda Rachmawati, menegaskan, sikap RS adalah mem-back-up kedua dokter yang dilaporkan oleh Erdiansah ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) maupun ke Polda Metro Jaya. "Dalam arti, kami membantu menjembatani komunikasi dengan MKDKI dan surat-menyurat. Yang jelas, para dokter itu sudah bekerja sesuai standar pelayanan operasional dan literatur. Sikap kami menunggu saja. Kalau nantinya dimintai keterangan oleh Polda, kami siap."
Imelda juga menjelaskan, bayi kembar yang dilahirkan Murti Ningsih sudah infeksi sejak lahir. "Mungkin yang satu lebih kuat daya tahan tubuhnya sehingga tetap sehat." Terus terang, tambah Imelda, selama Aira dirawat di ruang NICU, "Kami kesulitan berhubungan dengan orangtua bayi. Namanya berada di ICU, kondisi sewaktu-waktu bisa buruk sehingga perlu izin orangtua. Tapi yang terjadi, orangtuanya tidak berada di sekitar ICU. Dalam kondisi darurat, hubungannya hanya lewat telepon. Jadi sulit minta izin."
Yang lebih parah, tambahnya, menjelang Aira meninggal, Hb-nya menurun drastis. Menjelang subuh, dokter jaga menelepon ayah Aira supaya datang ke RS. "Buat apa saya datang? Toh, saya tidak bisa berbuat apa-apa," ucap Imelda menirukan jawaban Erdiansah.
Setelah dijelaskan kondisi Aira kritis dan orangtua perlu mendampingi, siapa tahu ada mukjizat, barulah Erdiansah datang. "Jam 07.00 baru datang, itu pun tanpa disertai istrinya. Jadi, Aira meninggal tanpa didampingi kedua orangtuanya," ucap Imelda penuh sesal.
RINI SULISTYATI
KOMENTAR