Tak pernah terbayang kalau harapanku, orang miskin yang ingin melihat anaknya sekolah, malah berujung petaka. Seharusnya aku sudah menyaksikan putriku, Hastuti (15), lulus SMA dan mungkin bisa melanjutkan kuliah. Tapi yang tersisa sekarang hanya kuburnya dan sejuta misteri.
Kalau tak miskin, tak perlu lah aku melepaskan Tuti diangkat anak dan disekolahkan oleh kerabat suamiku, Purba Jongker Sinambela. Pria yang biasa kami panggil Bapak Tua itu, meminta anak bungsuku yang waktu itu baru lulus SMP, dibawa ke Pekanbaru, kota tempat ia tinggal. Katanya, Tuti mau disekolahkan. Sementara keluargaku tinggal di Serdang Bedagai, Sumatera Utara.
Melihat keinginan Tuti yang besar untuk melanjutkan sekolah, aku merelakan ia dibawa. Apalagi, Tuti yang akhirnya melanjutkan studi di SMU Yayasan Tri Bakti, termasuk anak pintar. Selama tinggal bersama Bapak Tua, kami jarang berkomunikasi. Kupikir, mungkin ia sibuk sekolah dan maklum saja. Ia tinggal menumpang di rumah orang kaya, jadi tak bisa berbuat sesuka hati.
Keganjilan Terkuak
Tak lama setelah itu, jenazah Tuti tiba dengan dihantar mobil ambulans. Hanya beberapa saat setelah jenazah dibawa ke dalam rumah, listrik mati dan rumah pun menjadi gelap gulita, segelap hati dan pikiranku. Kami pun mangandungi (istilah dalam adat Batak ketika menangisi jenazah anak, Red.) dalam kegelapan. Rasa sedih pun jadi berlipat-lipat. Aku terus menangisi kepergian putriku.
Kecurigaanku Tuti tidak tewas akibat bunuh diri, semakin kuat. Saat membuka pakaian Tuti, kami menemukan banyak luka lebam di sekujur tubuhnya. Di payudara, tangan, hingga paha. Keyakinan itu bertambah saat kerabat kami yang juga menjadi saksi, Maju Pardede, mengungkap cerita ditemukannya Tuti. Katanya, Tuti tewas tergantung tapi keadaannya sungguh tak wajar.
Kata Maju, 9 Desember 2007 itu, ia tiba-tiba dijemput Bapak Tua. Kata Bapak Tua, ada hal penting, yaitu Tuti tewas bunuh diri. Di kamarnya, mayat Tuti sudah tak ada, yang tersisa hanya dua helai kain yang katanya digunakan untuk gantung diri. Mayat Tuti saat itu sudah dibawa ke RS Santa Maria. Bapak Tua juga bilang, Tuti bunuh diri karena cintanya ditolak oleh seorang pria.
Jelas, bagi kami, hal itu amat janggal. Kalau memang Tuti ditemukan tewas gantung diri, kenapa ia tidak langsung menghubungi polisi atau setidaknya ke RT/RW, selain keluarga penghuni rumah? Keanehan-keanehan itu pun terus terkuak. Misalnya, Polsek Tampan meminta Kepala RSUD Arifin Ahmad secara tertulis tertanggal 9 Desember 2007 untuk melakukan otopsi (visum et repertum), tapi yang dilakukan RS hanya pemeriksaan luar saja.
Dalam surat pemeriksaan dokter tertanggal 30 Januari 2008, surat yang ditandatangani Dr. Ali Sahman itu menyatakan, pada alat kelamin korban keluar cairan putih kental. Namun, temuan itu tak juga ditindaklanjuti.
Keanehan lainnya, ahli forensik mengatakan, salah satu ciri mayat mati bunuh diri adalah mata terbelalak, mulut terbuka, dan kaki menjinjit. Tapi ini pun tidak bisa dibuktikan setelah melalui otopsi mayat di Serdang Bedagai. Mata dan gigi anakku tertutup rapat. Bahkan otot pergelangan kaki kanannya seperti terputus. Menurut salah seorang dokter di RS Pringadi Medan, di kedua pergelangan tangan korban ada bekas ikatan tali, kedua matanya membiru yang diduga ditutup pakai kain. Di leher Tuti pun terlihat bekas ikatan.
Sehari setelah kematian Tuti, kakak kandungnya yang baru tiba dari Jakarta, tiba-tiba kesurupan sekitar pukul 23.00. Ia didatangi roh Tuti yang mengatakan ia tewas karena dibunuh, diperkosa, lalu digantung oleh Bapak Tua PJ Sinambela dan sopir Bapak Tua, Chandra Gultom. Melalui kakaknya, Tuti juga berharap agar kami menuntut atas kejadian tersebut. Peristiwa itu juga disaksikan oleh masyarakat di sekitar tempat tinggal kami.
Yang membuat keluarga kami sakit hati, keluarga PJ Sinambela berkeras tidak melakukan upacara sakramen (kebaktian menurut agama Kristiani) karena ia meninggal bunuh diri. Mereka juga keberatan jika jenazah Tuti diotopsi ulang dan minta pihak RS menyuntikkan formalin ke jenazah Tuti tanpa sepengetahuan kami.
Fakta-fakta lain yang memperkuat dugaan kami adalah saat dua kawan sekolah Tuti, Mawar dan Sari, memberikan kesaksian. Sari mengaku tak percaya Tuti bunuh diri dan besar kemungkinan ia dibunuh. Menurut Sari, Tuti tidak pernah dekat dengan laki-laki.
Suatu hari, kata Sari, anakku pernah minta minyak kelapa sawit di rumah tantenya Sari untuk dioleskan ke kemaluannya. Katanya, kemaluannya terasa sakit akibat pemerkosaan yang dilakukan Bapak Tua dan sopirnya secara bergantian. Tuti juga berkisah pada Sari, pamannya sudah pisah ranjang dengan istrinya karena kerap berkelahi.
Berdasarkan berbagai fakta dan kejanggalan itulah, kami lapor polisi. Tapi upaya ini rupanya juga harus terjegal. Kanit Reskrim Mapolsekta Tampan, Ipda Milson Jhoni, SH, justru menyatakan tak ada tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban. Kasus ini pun di-SP3 (dihentikan, Red.). Sudah dua kali kami melayangkan surat ke Polda Riau, tetapi tidak mendapat tanggapan.
SITA DEWI/ bersambung
KOMENTAR