Setahun belakangan ini, PLN mulai menawarkan layanan Listrik Prabayar (LPB). Apa, sih, sebenarnya LPB? Purnomo Willy BS, General Manager PT PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang menjelaskan, LPB merupakan pelayanan PLN dalam menjual listrik dengan cara pelanggan membayar di awal. Seperti pulsa prabayar yang lebih akrab dikenal di kalangan pengguna handphone (HP). "Pelanggan membeli sejumlah nilai tertentu sebelum menggunakan listrik dari PLN."
Purnomo menjelaskan, layanan LPB diluncurkan untuk menjawab keluhan masyarakat. "Antara lain soal melonjaknya pemakaian listrik. Kami sering menerima keluhan tentang pembacaan meteran yang tidak benar, kedatangan petugas pencatatan meteran yang dianggap mengganggu, juga soal pemadaman listrik akibat pelanggan telat bayar," jelas Purnomo.
Dengan layanan LPB, keluhan tadi diharapkan tak ada lagi. Dengan LPB, tak akan ada petugas pencatatan yang datang ke rumah. Keluhan soal melonjaknya tagihan juga tak akan ada lagi. "Sebab, konsumen sendiri yang akan mengontrol pemakaian listriknya."
Dalam sistem pascabayar, pengguna listrik memang tak diketahui secara persis berapa energi listrik yang digunakannya. Pelanggan baru tahu saat membayar di loket PLN atau di mesin ATM. Ketika tagihannya lebih besar dari biasanya, pelanggan umumnya terkejut. Buntutnya, ia bisa menyalahkan petugas meteran. "Nah, dengan LPB, pengguna bisa langsung mengecek pemakaian listriknya. Ia juga bisa melihat, berapa energi listrik yang masih tersisa. Masyarakat bisa mengendalikan sendiri pemakaian listriknya," jelas Purnomo.
Penggunaan listrik pelanggan tercatat di alat meteran prabayar yang dipasang di rumah. Tiap pelanggan akan mendapatkan 1 kartu prabayar, yang selain sebagai nomor identitas pelanggan, juga berfungsi sebagai alat pembelian token (strum listrik). Seperti pulsa HP, "LPB menawarkan beragam harga. Kami sediakan mulai dari yang Rp 20 ribu, Rp 50 ribu, sampai Rp 1 juta."
Cara ini, lanjut Purnomo, lebih menguntungkan masyarakat. Mereka bebas menentukan pilihannya. "Kami, kan, punya beragam segmen pelanggan. Ada yang penghasilannya harian, mingguan, atau bulanan. Mereka bisa menyesuaikan diri. Bisa membeli tergantung keuangannya," jelas Purnomo.
Kesamaan pulsa prabayar HP dan LPB, keduanya sama-sama tidak berfungsi saat pulsa habis. Pengguna HP tak bisa menghubungi relasinya dan pelanggan LPB pun akan mengalami pemadaman listrik. Bedanya untuk HP, dalam kurun waktu tertentu, pulsa menjadi tidak aktif, "Tapi, LPB tidak dibatasi tenggang waktu," kata Purnomo.
Itu sebabnya, pelanggan LPB harus rajin mengontrol pulsa di meteran. "Nah, menjelang pulsa habis, di meteran ada alarm berupa tombol yang berkedip-kedip. Artinya, konsumen harus mengisi lagi. Kalau pengguna lalai mengisi, bisa-bisa listrik rumahnya langsung padam."
Untuk mengisi listrik, pelanggan bisa mendapatkannya di PLN terdekat. Untuk mempermudah masyarakat, PLN juga bekerja sama dengan beberapa bank. Antara lain Bank Bukopin, Mandiri, Artha Graha, BNI, BRI dan lainnya. "Rencananya, semua bank akan kami ajak untuk berpartisipasi. Di Bank Bukopin, pembelian listrik, selain lewat loket, juga bisa lewat SMS banking. Kami juga berupaya agar kelak masyarakat bisa mendapatkannya di minimarket terdekat."
Omong-omong, apakah LPB lebih murah ketimbang listrik reguler? Sebenarnya, tarif LPB sama dengan tarif daftar listrik yang sudah ditetapkan. Hanya saja, untuk LPB, pelanggan tak perlu membayar biaya beban. "Sebenarnya, relatif lebih murah. Tapi, yang terpenting, pelanggan bisa menentukan sendiri berapa pemakaian listriknya," kata Purnomo.
Bagi masyarakat yang berminat beralih ke LPB, ujar Purnomo, caranya mudah saja. Mereka tinggal mendaftar di kantor PLN dengan membawa KTP plus alamat lokasi rumahnya. Selanjutnya, petugas akan melakukan survei. Dan beberapa hari kemudian, petugas akan datang lagi untuk melakukan penyambungan. "Bagi yang ingin tambah daya atau pindah dari cara regular ke LPB juga mudah, kok. Mereka tinggal mendaftar ke PLN."
Selama ini, untuk memperkenalkan LPB ke masyarakat, "Kami melakukannya door to door. Kami juga membagikan brosur ke masyarakat. Rupanya, responsnya cukup bagus dengan hadirnya LPB ini. Untuk wilayah kami, sudah 18 ribu pelanggan yang terdaftar," ujar Purnomo yang masih menggratiskan biaya pemasangan karena masih dalam tahap promosi.
Dikatakan Purnomo, LPB masih diperuntukkan bagi warga menengah yang kebutuhan listriknya tak begitu besar. Untuk warga yang pemakaian listriknya per bulan hingga jutaan rupiah, cara ini tentu kurang efektif. "Pegal juga, kan, kalau harus berkali-kali isi pulsa," canda Purnomo seraya mengatakan LPB adalah teknologi dari Afrika Selatan.
Apakah keuntungan PLN tidak berkurang bila masyarakat berhemat? Purnomo mengaku malah senang. "Bila mereka hemat, kami bisa berkonsentrasi menyalurkan listrik lebih banyak lagi ke masyarakat lain. Tapi, yang pasti, sistem ini akan menguntungkan masyarakat."
Tentu saja Purnomo menyerahkan kepada masyarakat untuk memilih. Dua opsi ini tetap ditawarkan. "Biar masyarakat sendiri yang menentukan," katanya.
Henry Ismono
KOMENTAR