Keluar rumah pada malam hari, sudah biasa kujalani sejak kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) hingga akhirnya bekerja di sebuah stasiun teve swasta. Sebelum kejadian naas Selasa (2/3) tengah malam itu, semuanya tak pernah ada masalah. Memang, sih, kadang terbersit kekhawatiran bila bus kota yang kutumpangi hanya berisi segelintir saja penumpangnya.
Lantaran selama ini tak pernah ada masalah, maka sejak menjadi editor, kebiasaan pergi atau pulang malam hari tak pernah kupersoalkan. Setiap hendak pergi atau pulang, aku selalu menyeberang jembatan di depan Departemen Perindustrian, Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Saat menyeberang, biasanya banyak tukang ojek atau orang yang nongkrong di ujung tangga. Beberapa di antaranya sudah kukenal wajahnya. Bila tergesa-gesa pulang, aku lebih suka naik ojek.
Di kantor, tugasku menyunting gambar untuk sejumlah tayangan. Dua bulan terakhir ini, aku ditugaskan di acara hiburan, talk show milik Dorce Gamalama. Nah, pekerjaan di sini menuntutku berangkat malam dan pulang dini hari. Setidaknya dua kali seminggu.
Selasa itu, seperti biasa, aku memilih berangkat dengan kendaraan umum menuju kantor di kawasan Jl. Kapten Tendean, Jakarta. Dari rumah (Tangerang) aku naik ojek hingga terminal, lalu pindah bus sampai Slipi. Dari sana ganti bus lagi hingga berhenti di jembatan penyeberangan di depan gedung Departemen Perindustrian.
Malam itu, sekitar pukul 24.00, suasana Jakarta relatif sepi. Ketika turun dari bus Mayasari Bhakti, ada seorang pria yang tampak buru-buru turun bersamaku. Pria itu langsung menapaki tangga jembatan penyeberangan. Langkahnya cepat sekali, sementara aku sedikit tertinggal di belakangnya. Ketika pria di depanku sudah menuruni tangga, aku belum sampai di tengah jembatan yang sepi dan gelap gulita. Andai tak ada urusan pekerjaan, pastilah aku berpikir sekian kali untuk menyusuri jembatan itu. Apa mau dikata, tugas sudah menanti. Aku hanya bisa pasrah kepada Tuhan.
Di jembatan yang gelap dan sunyi itu, aku benar-benar sendiri. Tak kudengar langkah orang mengikutiku dari belakang. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba terasa ada tangan pria yang membekap mulutku dari belakang. Aku tak bisa berteriak kecuali meronta-ronta, mencoba melepaskan tangannya dari mulutku. Sia-sia. Tiba-tiba mataku terasa basah disusul rasa perih. Ternyata darah mengucur deras dari kelopak mataku, di samping tulang hidung. Aku meronta lagi, namun tenaga pria yang kuat itu tak bisa kulumpuhkan. Malam itu gerakanku untuk melawan amat terbatas lantaran mengenakan rok panjang.
Selama aku meronta, kepalaku terasa dipukuli berulangkali dengan batu. Mungkin sekitar enam kali. Sakit sekali! Tak cuma itu. Kedua mataku pun ditonjok dengan batu. Aku pun roboh dan pria itu berada di atasku. Aku tak bisa melihat sosoknya karena penglihatanku sudah buram dan sebagian tertutup darah yang mengucur. Yang kuingat, sosok pria yang menyerangku bertubuh kurus namun tenaganya amat kuat.
Saat aku tak berdaya, aku sempat berpikir ia akan memerkosaku. Makanya, di tengah bekapannya, dengan nafas tersengal, aku terus menyebut asma Allah. Pada saat aku roboh tak berdaya, aku merasakan pria itu segera merenggut tas kerja yang masih kusandang di pundakku, lalu meninggalkanku yang masih tersungkur tak berdaya.
Kira-kira lima menit kemudian, dengan sisa tenaga, aku bangkit. Penglihatanku masih buram dan badan terhuyung. Dengan bertumpu pada pagar jembatan, aku merambat berjalan lagi menuju tangga turun. Dengan kondisi mataku yang sakit luar biasa, kepala pening, dan darah mengucur, kuturuni anak tangga satu persatu dengan susah payah.
Sesampainya di bawah, kudekati pemilik warung rokok yang tak jauh dari tangga jembatan. "Tolong antar saya ke kantor," pintaku sembari menyebutkan nama stasiun teve tempatku bekerja. Ia bertanya, apa yang terjadi padaku. Setelah kuceritakan aku diserang, dianiaya, lalu dirampok, ia malah menjauhiku. Awalnya aku sedikit bingung tapi beberapa saat kemudian ternyata ia datang lagi bersama polisi yang membawa mobil patroli.
KOMENTAR