Gagal dalam bisnis, itu bukan hal baru. Bila perhitungan awalku soal menjual baju-baju sisa ekspor di perumahan akan laku tapi ternyata meleset, wajar saja. Bisnis yang berhasil pasti melalui proses yang tidak pendek. Seperti prinsip dalam bisnis yang selalu aku percaya, berbisnis ibarat bermain catur, tidak mungkin ada pion yang tidak kalah.
Itulah keuntungan berbisnis dengan memainkan pion-pion kecil. Sekali kalah, tidak rugi besar. Justru dari kekalahan itu, pebisnis bisa belajar tentang strategi perang yang lebih andal. Dari kegagalan itu, aku belajar, orang yang mengerti merek adalah orang yang berwawasan luas. Segmentasinya kurang lebih pekerja dengan gaya hidup khas perkotaan.
Wah, penggunaan nama asing itu bukan tak menjadi masalah. Tahun 1990-an awal, penguasa melarang penggunaan nama-nama asing untuk berbisnis. Tapi, aku bisa selamat karena lokasi itu merupakan kompleks tentara.
Selain merek-merek terkenal yang dijual dengan harga miring, ada satu hal lagi yang menjadikan The Big Price Cut ramai pembeli. Hal itu sederhana saja dan mungkin tak banyak dipikirkan orang lain, yaitu ukuran baju yang relatif besar. Bagaimana aku bisa mendapat ide itu? Coba saja, bila menonton acara-acara reality show atau kuis di teve, kebanyakan pesertanya berukuran besar, kan? Ukuran kecil itu hanya milik sebagian kecil orang saja atau para model.
Tak butuh waktu lama, The Big Price Cut dibanjiri pembeli. Toko belum buka saja orang-orang sudah mengantre. Mana ada orang mengantre untuk membeli baju? Ha ha ha. Jujur saja aku sampai kaget melihat uang yang kuhasilkan saat itu. Dari sana, aku terus mengembangkan bisnisku. Tahun 1996 aku membuka toko sisa ekspor di Makassar, Surabaya, dan Bali. Aku membuka beberapa toko karena aku belum mendapat ketenangan. Saat itu, Indonesia sedang goncang. Kondisi perekonomian tidak bisa ditebak ke mana arahnya. Pikiranku sudah jelek saja, bagaimana kalau The Big Price Cut yang sudah di titik nyaman itu tiba-tiba dibakar massa? Tapi, mungkin aku belum berjodoh dengan Makassar, karena pada akhirnya satu tokoku di sana hancur dibakar massa.
Tahun 1999, aku membuka satu lagi toko yang kuberi nama FOS, kependekan dari Factory Outlet Store. FOS menggunakan konsep toko bernuansa rumahan, berlokasi di jalan Dr. Otten, Bandung. Konsep ini rupanya menarik banyak konsumen. FOS laku keras, dan istilah factory outlet (FO) pun mulai populer dan banyak digunakan toko baju lainnya. Sampai-sampai, ada julukan Bandung lautan FO.
Kesuksesan FOS ini membuat banyak FO bermunculan dengan konsep yang tak jauh berbeda. Tapi, aku tidak takut atau kesal dengan munculnya banyak pesaing. Justru, persaingan lah yang membuat bisnisku jadi sebesar sekarang. Adanya persaingan menuntut para pebisnis berlomba-lomba menciptakan inovasi. Dan itulah yang masih aku lakukan.
Jika sekarang orang menganggapku sukses, aku rasa itulah hasil kerja keras. Percaya atau tidak, bila dihitung-hitung, lebih dari 100 kali aku pernah membuat toko dengan nama yang berbeda-beda, meski hanya hitungan jari yang masih bertahan. Artinya, aku sudah melewati segala macam tantangan dalam bisnis.
Ratusan kali aku membangun toko, karena yang namanya gaya hidup pasti berubah. Pembeli selalu ingin sesuatu yang baru, dan itulah yang harus disediakan pebisnis. Jadi, seolah-olah ada toko baru padahal pemiliknya sama saja.
Misalnya, tahun 2002 aku membuat China Emporium, ramai sekali. Tahun 2006 sudah mulai sepi karena barang-barang Cina mulai banyak. Saat itulah aku mengganti dengan nama dan konsep baru. Happening, Rich and Famous, The Secret, Victoria, For Men adalah beberapa nama toko yang pernah aku buat. Aku menggarap semua segmen dan menciptakan kompetitor di antara kami sendiri agar kompetitor lain tidak masuk.
Setelah malang melintang di bisnis pakaian, aku mulai melirik bisnis wisata dan kuliner. Aku memulainya dengan membuat All About Strawberry (AAS) tahun 2000 awal. Lokasi yang kupilih cukup jauh dari pusat kota Bandung, yaitu di Cihanjuang, Cimahi.
Meski jauh, tapi AAS sukses menarik pengunjung bahkan dari luar kota Bandung. Melihat orang jauh-jauh dari Jakarta datang, menjadi kepuasan tersendiri bagiku. Kuncinya hanya satu, konsep yang jelas. Momentum di mana strawberry dan sinetron Strawberry yang dibintangi Rachel Maryam sedang digemari, juga turut mendukung kesuksesan AAS.
Dimulai dari kesuksesan AAS, aku menciptakan Rumah Sosis, Kampung Baso, Risol-Risol, De Ranch (wisata kuda), Tahu Lembang, dan yang terbaru Taman Kupu-Kupu. Tak semuanya berhasil. Fantasia yang konsepnya rumah Barbie gagal karena banyak pengunjung Barbie yang lebih banyak disukai kalangan menengah atas. Makanya, hanya berhasil menyedot segelintir orang saja. Hanya dalam dua bulan, Fantasia langsung kututup.
Rumah Sosis, Kampung Baso, De Ranch, Risol-Risol, dan Tahu Lembang sukses menyedot hingga 2000-an pengunjung tiap akhir pekan. Padahal, yang kujual hanya konsep. Aku lalu menggandeng pedagang sosis, bakso, atau risoles untuk menyediakan 'jualan'nya. Aku hanya menyediakan tempat, konsep pemasaran, dan promosi. Jadi, saling menguntungkan, bukan?
Konsep yang jelas dan terarah, bisa menjadi alat promosi yang efektif bagi sebuah bisnis. Terbukti, baru berdiri, media massa berdatangan dengan sendirinya untuk meliput Rumah Sosis, dan yang lainnya. Padahal kalau dipikir-pikir, aku hanya menggunakan konsep 'semua serba..'.
Ketika Taman Kupu-Kupu baru didirikan, banyak sekali wartawan meliput. Dalam sehari, liputannya muncul di beberapa teve nasional. Berhubung aku dekat dengan wartawan, aku jadi paham kalau membuat sesuatu yang unik dan layak jadi berita, media akan datang dengan sendirinya.
Meski begitu, hubunganku dengan pemberitaan tak selalu baik. Pernah suatu kali media membuat pemberitaan miring mengenai dampak negatif FO dan usaha wisata yang makin menjamur. Katanya, FO menimbulkan macet dan sampah di kota Bandung. Aku, menanggapi dengan positif saja. Pemberitaan itu justru membuat usahaku makin besar.
Kesuksesanku di mata orang lain, membuatku banyak diundang menjadi pembicara seminar kewirausahaan atau menjadi juri di Wirausaha Muda Mandiri. Aku juga jadi giat di berbagai organisasi, baik yang berbasis bisnis maupun tidak. Kegiatan-kegiatan seperti ini seringkali memberi inspirasi.
Aku juga bergabung di Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) untuk memberi pengarahan kepada usaha-usaha kecil dan menengah. Perjalanan ke daerah-daerah sering pula kujalani demi memberi mereka penyuluhan.
Hingga akhirnya 2 tahun lalu aku mendapat tawaran untuk mengajar mata kuliah Kewirausahaan di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung. Meski sibuk, tapi aku terima tawaran itu. Alasannya, aku senang menularkan jiwa wiraswasta ke generasi muda.
Pernah aku menugaskan mahasiswaku untuk membuat tulisan dari hasil observasi mereka selama libur Lebaran. Tugasnya mudah saja, selama liburan itu mereka aku minta untuk mengamati bisnis yang ada di sekeliling mereka.
Hasilnya menarik sekali, ada yang melihat seorang ibu-ibu hanya dengan bermodalkan tikar membuka usaha pijat di titik kemacetan. Dari tugas-tugas yang dikumpulkan mahasiswa, aku juga bisa mendapat inspirasi bisnis yang bisa dikembangkan. Aku kagum dengan semangat mahasiswa-mahasiswa bisnis itu, yang ingin menciptakan lapangan kerja dan berkreasi.
Lucunya, biasanya mereka memiliki orangtua yang bekerja sebagai pegawai, baik swasta maupun negeri. Biasanya, mereka tidak ingin menjadi pegawai, makanya semangat sekali untuk berbisnis. Sebaliknya, anak-anak yang orangtuanya berbisnis justru cenderung ingin menjadi pegawai kantoran.
Kesuksesanku tak lepas dari peran para pegawaiku. Merekalah yang menghidupiku, bukan sebaliknya. Kepada mereka, aku bersikap tegas dan profesional. Kalau ada yang lalai saat aku sedang melakukan inspeksi, aku pasti memarahi. Tapi, keesokan harinya aku panggil dia ke kantor dan bilang, kalau aku bisa marah kepada mereka saat mereka lalai, mereka juga berhak marah kepadaku kalau aku melanggar hak mereka.
Selain pegawai, peran istriku, Elen Berkah, yang kunikahi 25 tahun lalu juga tak kalah pentingnya. Aku mengenalnya di klub badminton saat duduk di bangku SMP. Sembilan tahun kemudian kami menikah. Setelah menikah, dia yang hobi merancang interior, kerap aku serahi tanggung jawab untuk mendesain interior toko.
Elen memberiku dua anak, Adrian Prasetya (24) dan Mesayu Pradita (19) yang kini menimba ilmu di Australia. Aku tak pernah mengarahkan mereka untuk mengikuti jejakku menjadi pebisnis, yang aku lakukan hanya mendorong mereka untuk membuat sesuatu. Anak pertamaku, mulai dengan membuat es lilin yang penjualannya juga lumayan. Tak jarang dia membantuku sekaligus belajar.
Setelah segala pencapaian yang kudapat, aku masih semangat untuk terus berkarya. Bukan uang yang aku cari, tapi kepuasan dari menciptakan sesuatu. Pokoknya, berkarya saja, uang akan datang dengan sendirinya.
Sita Dewi
FOTO-FOTO: DOK. PRIBADI
KOMENTAR