Ditambah motif yang juga tampak kontemporer, menjadikan batik indigo Nita, sapaan akrab Mayasari, terlihat modern. "Padahal, saya justru banyak menggunakan motif batik kuno yang dipakai nenek moyang. Tapi, ternyata banyak motif kuno yang terlihat kontemporer, sehingga dipakai oleh orang yang masih muda atau dalam kesempatan tidak resmi pun bisa," papar perempuan asal Yogya ini. Nita sendiri mulai meneliti proses pembuatan batik indigo sejak lima tahun silam.
Ia memilih menggunakan indigo untuk melestarikan budaya, karena justru inilah warna yang pertama digunakan untuk batik di Jawa pada zaman dulu. Pembuatan batik indigo sendiri memakan waktu jauh lebih lama dibanding batik dengan pewarna sintetis. Sebab, kain batik harus dicelupkan ke cairan warna indigo 10-20 kali, tergantung kepekatan warna yang diinginkan, dan memakan waktu 1-2 minggu. Untuk mewarnai satu kain yang panjangnya 2,7 m, dibutuhkan 1 kg pasta indigo, yang dibuat dari 10 kg daun indigo.
Uniknya, warna indigo ini akan terserap kuat ke dalam kain yang menggunakan serat alami murni, tapi kurang kuat bila kain yang digunakan lebih banyak serat sintetisnya. Selain itu, warna biru yang dihasilkan dalam tiap pencelupan kadang tak selalu sama, tergantung dari spesies tanaman, cara pembuatan pasta, cuaca saat pencelupan, daya serap kain, dan air tanah.
Untuk mencari daun ini, Nita harus memburunya sampai ke Tuban dan Jepara. Apalagi, kini ia membutuhkan 200 kg pasta indigo alias 2 ton daun per bulan. Tanaman indigo sendiri, menurut Nita, banyak tumbuh liar di daerah yang terpapar sinar matahari penuh. Konon, selain rempah-rempah, VOC milik Belanda pada zaman dulu juga menyertakan pasta indigo Jawa yang terkenal berkualitas bagus dalam daftar barang yang akan diangkut ke Belanda.
Lantaran proses pembuatan yang memakan waktu lama inilah, Nita merasa sayang kalau harus menggunakan proses batik cap maupun sablon (printing). Ia memilih menggunakan batik tulis untuk seluruh produk batik indigonya. "Harga relatif tidak mahal, kok, apalagi ini batik tulis. Kalaupun terkesan mahal, ini karena ketersediaan bahan baku daun yang terbatas, sehingga harus hunting ke daerah lain," ujar Nita sambil menambahkan, di Yogya sendiri kini berdiri Paguyuban Indigofera Indonesia, untuk mewadahi para penggemar batik indigo.
Selain itu, imbuh perempuan yang memiliki galeri di Jakarta, Bekasi, Yogya, Semarang, dan Bandung ini, harga tinggi juga sekaligus untuk mengapresiasi para perajin yang lebih banyak dibutuhkan ketimbang pembuatan dengan warna sintetis. Untuk harga scarf yang kecil, misalnya, dibandrol harga Rp 120 ribu, sedangkan yang besar Rp 400 ribu. Busana untuk perempuan muda dan dewasa dalam model kasual dan resmi, dibandrol mulai Rp 500 ribu.
Tahun 2007, Nita mulai memberanikan diri menjual batik indigo di Galeri Batik Jawa (GBJ) miliknya di Yogyakarta. April 2009, Nita memamerkan batik indigo pertama kali di Jakarta. Rupanya, stan pameran Nita yang mayoritas diisi batik berwarna biru itu membuat para pengunjung tertarik. Lonjakan permintaan sejak pameran pertama yang diikuti GBJ pun sangat tinggi, mencapai 100 persen, sampai-sampai Nita kewalahan.
Bahkan, Ibu Negara Ani Yudhoyono dan Jusuf Kalla, yang waktu itu jadi Wakil Presiden, juga menggunakan batik indigo yang kini jadi produk identik GBJ. Nita menyebut batik indigo sebagai batik yang ramah lingkungan karena pembuatannya sama sekali tak menggunakan bahan kimia. "Ampas daunnya bisa jadi pupuk. Ini pewarna alami, sehingga aman untuk kulit, tidak seperti pewarna sintetis yang berbahaya dan mahal. Batik indigo juga bisa dicuci dengan mesin cuci karena warnanya tidak luntur. Musuhnya hanya satu, sinar matahari langsung," terang Nita.
Lain Nita, lain pula Vera Ghozali (42). Perempuan bertutur kata lembut ini mulanya merasa tidak bisa menemukan motif batik yang sesuai dengan keinginannya. "Batik, waktu itu, motif dan warnanya hanya itu-itu saja," tutur Vera saat ditemui di workshop batik Tawon Gung (TG) miliknya, di Yogya. Ia menginginkan batik dengan motif yang tidak tradisional, baik dari sisi motif maupun warna. Oleh karena itulah, Vera yang tahun 2000 itu masih menjadi dosen Arsitektur di YKPN Yogya, mulai membuat desain sendiri.
Batik Vera yang lain dari yang sudah ada, membuat teman-teman dan kerabat yang ditawari jadi tertarik. Dari mulut ke mulut, batik tulis TG yang berwarna-warni makin banyak diminati. Apalagi, Vera memang membuat produknya bisa dipakai dari bayi sampai orang dewasa. Produknya sendiri antara lain baju, mukena, sajadah, sarung, sarung bantal, gorden, seprei, bed cover, kimono, tas kosmetik, dompet serbaguna, sampai sarung HP, dan sandal.
Harga batik TG yang paling murah adalah Rp 30 ribu, yaitu dompet serbaguna, sampai Rp 500 ribu yaitu bed cover. Uniknya, untuk setiap desain hanya diproduksi lima buah. Setelah itu, tidak akan dibuat lagi, kecuali berdasarkan pesanan. Desain dibuat sendiri oleh Vera. "Tapi kalau pembeli mau membuat desain sendiri bisa, kami tinggal membatik dan mencelup warnanya. Kalau dia mau membatik sendiri di sini juga bisa. Kami yang akan meneruskan proses pewarnaannya," papar Vera yang tahun 2003 memutuskan pensiun dini dan berkonsentrasi pada TG.
"Lihat garis pensil yang ada di sini, itu pembuktian kami pada pembeli bahwa ini batik tulis, bukan sablon atau cap. Jangan khawatir, saat dicuci garis pensilnya akan hilang, kok," jelas perempuan berdarah Padang ini. Nuansa ceria dalam produk TG memang terasa di workshop yang terletak di kawasan Pogung ini.
"Saya senang, karena dengan seperti ini, kalangan pemakai batik jadi lebih banyak, tidak terbatas usia."
Lama pemesanan memakan waktu 1-2 minggu. "Setiap bulan selalu ramai pesanan, bisa sampai 500 buah. Lebaran lalu, dari mukena saja terjual 400 set, yaitu ditambah sajadah. Saat berhaji, biasanya pemakai sajadah kami meletakkannya di kepala, jadi teman satu rombongannya bisa mengenali dari jauh," tuturnya sambil tersenyum. Selain memasarkan produk ini sampai ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, dan Jawa, Vera juga sudah mengekspor batik TG antara lain ke Italia, Abu Dhabi, dan Prancis.
Selain menjual langsung di workshop, Vera yang berencana membuka toko di Yogya, juga memiliki toko online. "Banyak juga orang yang membeli untuk dijual lagi," ujarnya sambil menambahkan, pesanan untuk souvenir ulangtahun, pernikahan sampai khitanan juga berdatangan.
Sementara itu, Dawud Subroto (55) juga tak mau ketinggalan. Dari Roemah Batik Tembi (RBT) miliknya di Dusun Tembi, Desa Timbulharjo, Kab. Bantul, Dawud berusaha meraih pangsa pasar anak muda.
Ini terlihat dari batik cap, sebagian lagi tulis, yang ditawarkan RBT yang mayoritas berwarna cerah dengan sentuhan motif yang modern, cocok untuk anak muda dan siswa, termasuk ABG yang menjadi sasaran produknya. "Saya ingin anak muda tidak malu atau malas memakai batik, hanya karena menganggap motif dan warnanya terlalu tua untuk mereka. Tapi kami juga tidak menutup kemungkinan untuk orang dewasa," ujar Dawud yang menyasar kalangan menengah ke bawah.
Malah, imbuhnya, ada pesanan untuk seragam para guru, karyawan, dan siswa TK dari Jogja, Tegal, dan Malang. Bahkan, ada pula pesanan dari Jakarta untuk seragam kunjungan sebuah instansi ke Thailand. Selain itu, batik cerah RBT juga mulai dilirik pasar Eropa. Jangan khawatir bila tak suka dengan warna yang tersedia. Sebab, pembeli bisa memesan warna yang diinginkan, dengan lama pemesanan 1-2 minggu.
Lantaran menyasar anak muda itulah, Dawud tak mematok harga mahal. Di RBT ada dua macam harga, yaitu Rp 55.000 untuk kain dengan dua warna dan Rp 67.500 untuk kain pelangi alias tiga warna, dengan masing-masing panjang kain 2 m. RBT juga gencar menggandeng sekolah dan perguruan tinggi untuk berkerjasama, antara lain dengan mengadakan diskusi atau kegiatan. Kebetulan, selain RBT, Dawud juga membuka usaha homestay, kerajinan tangan, dan menyediakan tempat untuk berbagai kegiatan di areal RBT yang seluas 2,5 hektar.
Meski baru dibuka sejak 27 Desember lalu, RBT sudah meraih omset cukup tinggi, yaitu Rp 60 juta. Padahal, produknya mayoritas kain, bukan produk jadi seperti baju. Meski demikian, Dawud punya sedikit kekhawatiran. "Dengan adanya perjanjian perdagangan bebas dengan Cina ini, ancaman batik printing dari sana sangat besar. Di sini sudah banyak beredar, dengan harga Rp 15 ribu per meter. Kalau pemerintah tidak mendukung perajin batik, batik kita justru akan tenggelam, karena pembeli pasti memilih yang lebih murah."
Hasuna Daylailatu
KOMENTAR