Enok berkisah, batik Tasik pernah mengalami masa kejayaan di tahun 60-an hingga 70-an. Namun, industri batik juga sempat mengalami gonjang-ganjing saat kisruh politik beberapa kali melanda negeri. Munculnya teknologi baru yang melahirkan tekstil bermotif batik buatan mesin juga sempat mengancam kelangsungan hidup batik tradisional.
Memasuki milenium baru, industri batik kembali menggeliat. Puncak-puncaknya tahun 2005 saat demam batik melanda pelosok negeri. Batik Tasik tak pelak mendapat imbas positif. Perajin batik mulai bermunculan lagi. Peran pemerintah setempat diakui Enok besar pengaruhnya, "Pemerintah Tasik misalnya, menghimbau PNS dan pegawai BUMN untuk memakai batik tasik pada hari tertentu sekaligus memberi daftar semua perajin batik di Tasikmalaya. Kebijakan seperti itu sangat membantu kami para perajin batik."
Upaya Enok tak sebatas untuk mendongkrak penjualan. Enok juga berusaha mendokumentasikan corak-corak batik khas Tasik dalam selembar kain. Berbagai corak khas Tasik seperti ramat lancah (laba-laba), jukut riut (bunga putri malu), payung, batu seling, nusa indah, dan ayakan ia gambar satu persatu dan diberi nama. "Bahkan ada corak khas yang tidak ada namanya meskipun saya sudah bertanya pada para orang tua yang mengerti batik. Suatu kali saya melihat tanaman di sawah yang mirip, saya tanya pada petani lalu saya beri nama sendiri. Tujuannya agar batik tasik tidak punah." Saat dipajang di pameran, justru banyak konsumen yang tertarik untuk membeli sebagai koleksi.
Menanggapi ancaman tekstil bermotif batik buatan Cina yang mulai menggempur pasar dalam negeri, Enok tak khawatir. "Pencinta batik yang paham pasti akan mencari batik yang asli." Enok juga membagi tips agar konsumen tidak diperdaya dengan batik 'palsu'. "Lebih baik beli di toko batik yang ada workshop-nya. Supaya tidak salah membeli dan sekaligus bisa melihat proses pembuatannya."
Rini
KOMENTAR