Betapa menyenangkan bisa pulang ke Tanah Air tercinta. Setelah tiga hari melewati rute penerbangan dari Bandara Santo De Minggo - New York - Abu Dhabi - Jakarta, akhirnya, Sabtu (13/2) aku benar-benar bisa menghirup udara Indonesia yang kurindukan.
Sedianya, aku kembali 12 Januari lalu, tapi tertunda satu bulan karena paspor, uang, dan tiket pesawat tertimbun reruntuhan gedung kantor tempatku bekerja di Kota Port Au Prince, Haiti.
Ya, seperti gencar diberitakan di seluruh dunia, Selasa (12/1) sore, negeri itu diguncang gempa bumi berskala 7.0 Richter. Aku selamat meski sempat terkurung reruntuhan gedung selama kurang lebih 20 menit. Ketika keluar dari reruntuhan, aku hanya membawa badan saja. Satu-satunya identitas yang melekat di tubuh adalah name tag yang kusematkan di baju.
Oh ya, di Haiti aku bekerja sebagai relawan Minutsah. Persisnya sejak September 2007. Di bawah unit UN Police, kami bekerjasama dengan kepolisian nasional Haiti. Salah satu tugasnya, mereformasi kepolisian Haiti. Aku diposisikan sebagai penasehat keuangan, sesuai latar belakang pendidikanku.
Sebelum gempa melanda, sebetulnya Haiti sudah mau bangkit dari kesulitan. Sayang, baru mau berdiri, sudah tertimpa bencana. Kini, semuanya harus dimulai dari nol lagi. Itu sebabnya, pascagempa, sembari menunggu proses pembuatan paspor baru, aku memilih memperpanjang tinggal di Haiti untuk menolong masyarakat di sana dan teman-teman yang jadi korban bencana.
Sebenarnya, untuk skala kecil, aku sudah sering menjadi relawan. Ayahku, Hj. Muhammad Thamrin Tahir, seorang militer. Kami dididik untuk lebih dekat dengan alam. Ibu kami, Hj. Titi Thamrin, juga amat menekankan pentingnya kemandirian. Meski perempuan (aku anak kedua dari 5 bersaudara), aku harus punya harga diri dan bisa dibanggakan.
Sebelum benar-benar terjun jadi relawan, aku pernah bekerja sebagai penyelia di sebuah toko buku besar di Makassar, kota kelahiranku. Rupanya menjadi relawan adalah jalan hidupku. Aku keluar dari toko buku setelah diminta Tanti, kakakku, menjadi relawan di Aceh dan bergabung dengan Merlin (Medical Relive International), NGO asal Inggris.
Setelah masa pemulihan Aceh selesai, aku menjadi relawan di Atambua (perbatasan Timor Leste - Indonesia), bergabung dengan NGO asing yang bergerak di bidang edukasi. Seusai itu, tawaran sebagai relawan PBB datang lagi. Kali ini di Haiti. Aku berangkat bersama rekan relawan Yogi Anggoro.
Mendadak Runtuh
KOMENTAR