Dari komunitas yang jumlahnya tak lebih dari 10 orang itu, makin lama jumlah anggota SJ terus bertambah. Sekarang, SJ memiliki 500 anggota aktif. Anggotanya bukan hanya dari Indonesia saja, lho. Orang Indonesia yang tinggal di Jerman, Jepang, dan negara lain pun ikut jadi anggota. "Namun, kami juga membuka keanggotaan untuk orang asing," jelas Larasati yang jadi ketua umum SJ.
Mantan rektor Institut Pertanian Yogyakarta ini menuturkan, keanggotaan SJ bebas untuk siapa saja. Selain itu, tidak ada syarat tertentu untuk jadi anggota SJ. Tak heran, anggota SJ berasal dari kalangan yang sangat beragam, mulai dari petani, perajin batik, mahasiswa, ibu rumahtangga, pengusaha, bahkan sampai profesor. Kadar pemahaman mereka terhadap batik pun tidak sama. Ada yang ahli, ada pula yang sama sekali tidak tahu tentang batik.
Tak hanya itu. "Ada yang kolektor batik, tapi ada pula yang tidak memiliki produk batik sama sekali. Kami tidak membatasi, justru yang tidak punya pengetahuan dan produk batik ini yang harus dirangkul supaya akhirnya ikut melestarikan batik. Ada pula yang koleksi batiknya hanya batik printing, ada yang setiap pertemuan jadi terlihat beda sendiri karena yang lain memakai batik, dia tidak. Akhirnya malu sendiri dan pulang untuk ganti baju," tutur Larasati sambil tersenyum.
Tak tanggung-tanggung, yang jadi pelindung komunitas ini adalah Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X, dengan penasehat antara lain GKR Hemas, yang merupakan istrinya. Lantaran komunitas ini bertujuan untuk melestarikan dan mengembangkan batik serta meningkatkan kecintaan dan pemahaman masyarakat terhadap batik, setiap bulan sejak didirikan, SJ selalu membuat kegiatan untuk mendukungnya.
"Pelatihannya sangat murah, hanya Rp 75 ribu sampai bisa. Ini supaya orang mau belajar membatik, dan batik tidak punah. Oh ya, kami buka setiap hari," ujar Larasati setengah berpromosi. Ia berkisah, mulanya ia sendiri bukanlah berasal dari keluarga pembatik. Ayahnya, dulu seorang pamong praja di Pekalongan. Namun, sejak muda Larasati sudah memakai dan mencintai batik. Itu sebabnya, ia prihatin saat gempa memorak-porandakan Imogiri tahun 2006 silam.
Khawatir pengetahuan batik yang dimiliki para perajin di sana hilang, sejak hari pertama gempa Larasati sudah mengumpulkan mereka, menyediakan tempat dan peralatan agar mereka mau membatik lagi. "Mereka dibayar, disediakan makan siang, sehingga tetap mendapat penghasilan dan batik tidak punah. Sebab, beberapa dari mereka ada yang jadi pemulung. Sayang kalau ilmunya tidak dimanfaatkan," ujar perempuan yang pernah meraih KEHATI Award ini.
Hasuna Daylailatu, Noverita K. Waldan
KOMENTAR