Suniyah sendiri menjadi perajin batik sejak tahun 1983 lalu, tapi usaha itu adalah warisan dari mertuanya, pasangan H. Abdul Muin dan Hj. Maryam, yang sejak puluhan tahun silam sudah menekuni usaha batik Sidoarjo. "Kalau menurut sejarah, dari orangtua maupun dari buku-buku yang ada, batik Sidoarjo itu sudah ada sejak tahun 1600-an," imbuh ibu lima orang anak tersebut.
Demikian pula dengan coraknya yang tak bisa lepas dari gambar burung merak atau burung cipret yang menjadi ciri khas batik klasik Sidoarjo. Tapi, yang beda dengan produk batik lainnya, jika kain batik di daerah lain digunakan sebagai baju, maka tidak demikian halnya dengan batik bagi etnis Madura. Batik, rata-rata digunakan sebagai sarung, jarit, selendang bayi, serta udeng (kain yang dililitkan di kepala). "Dalam tradisi Madura, tidak ada batik yang digunakan sebagai bahan baju," imbuh Suniyah sambil menceritakan bahwa dulu saking banyaknya pemesan, ketika memasuki musim hajatan, warga Madura yang memesan batik ke mertuannya harus antri terlebih dulu.
Setelah batik mendapat pengakuan luas, sekitar satu atau dua tahun belakangan ini, istri Bupati Sidoarjo mencanangkan sebutan batik Sidoarjo, tanpa embel-embel kata Madura. Dengan sebutan baru itu, para perajin juga mulai melakukan improvisasi soal corak dan warna sesuai dengan kebutuhan dan tren masyarakat. Penggunaannya pun tidak sekedar dibuat jarit, atau selendang bayi, tapi juga dibuat baju pria, wanita dan juga keperluan lainnya.
Gandhi
Berita yang lebih lengkap dan dalam ada di Tabloid NOVA. Belinya enggak repot, kok.
Sahabat NOVA bisa pilih langganan di Grid Store, atau baca versi elektroniknya (e-magz) di Gramedia.com, MyEdisi, atau Majalah.id.
KOMENTAR