Penulis novel yang banyak digandrungi remaja, Gola Gong (47), sudah sekitar empat tahun belakangan terserang penyakit osteoarthritis (pengapuran sendi ) di tulang leher. Bahkan sudah dibilang bakal lumpuh total. Satu-satunya jalan, harus operasi. Namun, pendiri dan pengelola Rumah Dunia ini menolak. "Saya takut !" dalih pria bernama asli Heri Hendrayono Harlin itu. Lalu, kenapa ia tersinggung saat teman-temannya memberi bantuan dana? Berikut cerita Gong.
Mengalami proses kelumpuhan total! Siapa yang tidak takut mendengar dan menghadapinya? Tapi, itulah kenyataan yang kini saya hadapi sejak lumbar (tulang ekor, Red.) hingga leher mengalami pengapuran yang akhirnya mempersempit ruas-ruas tulang. Saya baru sadar kena penyakit osteoarthritis itu sekitar tahun 2005. Waktu itu, saya, istri (Tias Tatanka), dan anak-anak, ke Solo-Jakarta PP. Saya menyupir sendiri. Pulang ke kota kelahiran istri, badan sampai kaki terasa sakit. Persisnya, mirip seperti kesetrum listrik.
Penasaran, saya periksa ke dokter. Mulanya, kata dokter, ada masalah di ginjal. Memang, saat di-rontgen, terlihat ada dua batu di ginjal. Anjuran untuk operasi, saya tolak. Saya lebih menuruti saran teman, makan semangka dua butir sehari agar batu ginjal hancur. Ternyata benar. Batu ginjal saya hancur dan air seni jadi lancar.
Toh, sampai dua tahun berikut, rasa sakit seperti kesetrum itu tak kunjung hilang. Saya periksa lagi ke dokter lain. Dari pemeriksaan MRI, ketahuan, ruas-ruas tulang saya mulai dari lumbar hingga leher sudah menyempit lantaran ditimbuni lemak. Pengapuran sudah terjadi. Untuk menghilangkannya, harus operasi. Tulang leher dikerok, dibersihkan dari pengapuran. "Waduh, di sana, kan, pusat syarafnya," kata saya dalam hati. Saya pun cemas. Akankah operasi itu berhasil? Soalnya, berdasar pengalaman yang sudah-sudah, dokter tak bisa memberi garansi akan berhasil atau tidak. Resiko lumpuh dan berhasil, sama besarnya.
Sekian lama saya tak kunjung bisa memutuskan, operasi atau tidak. Sempat juga selama seminggu tak bisa bangun dari ranjang karena rasa sakit makin mendera. Di tengah penderitaan itu, saya sempat terpikir, akan pasrah di meja operasi. Tapi, biayanya besar sekali, bisa mencapai Rp 80 juta. Itu pun tak ada jaminan berhasil, sementara uang saya tak cukup.
Oh, ya, sebelum sakit, saya sempat bekerja di tim kreatif RCTI. Tugasnya membuat desain program, menulis naskah untuk acara entertainmen, sinetron, dan lainnya. Tapi, karena sering minta izin untuk berobat, akhirnya saya mengundurkan diri. Malu terlalu sering sakit dan diberi dispensasi masuk kerja kapan saja saya bisa. Nah, sejak itu, saya hidup dari tabungan.
Di sisi lain, rasa sakit semakin menjadi sampai sering terasa seperti disilet-silet. Kesemutan, berkunang-kunang, dan kepala pusing, pasti muncul saat rasa sakit itu datang. Bahkan, kadang sampai black out alias pingsan. Karena tak tahan, saya nekat kirim SMS ke seorang teman. Dia anggota DPRD di Jakarta. Saya mau ambil jalan operasi dan minta bantuan dia.
Belum lagi dapat jawaban, saya berubah pikiran. Maret 2008, saya putuskan berobat secara natural di Klinik Holistik di Purwakarta (Jabar). Istilahnya, saya opname di sana untuk menjalani detoksifikasi. Salah satu programnya, setiap pagi wajib minum dua gelas jus buah organik. Makanannya pun serba umbi-umbian
Di klinik itu pula saya dengar informasi kemungkinan saya akan lumpuh betulan. Saya pasrah saja dan terus menjalani pengobatan akupresur, akupuntur, darah diberi ozon dan hipnoterapi. Tak lupa, saya terus berdoa.
Pada bulan pertama, rasa sakit seperti kesetrum sudah hilang. Anehnya, rasa nyeri muncul di tangan hingga leher. Dokter di klinik itu lalu menyarankan agar saya menambah pengobatan dengan prana cikung dari tabib Cina untuk menghangatkan rasa nyeri di bagian leher. Prana cikung adalah sistem penyembuhan yang memanfaatkan panas tubuh kita dan alam semesta.
Rini Sulistyati/bersambung
Foto-foto: Ahmad Fadilah
KOMENTAR