Sang istri, Nanda Sukmawati (42), berkisah, penderitaan Burhan berawal Agustus 2008 lalu. "Waktu itu, suami saya selalu susah berjalan. Dia lalu mengajak saya memeriksakan kondisinya ke RS Gleni Int. di Medan. Kebetulan, perusahaan tempat suami saya bekerja yang merujuk ke RS itu," kata ibu tiga anak ini.
Dari pemeriksaan, ternyata Burhan mengalami penyempitan saraf tulang belakang. Mau tak mau, harus dioperasi. Pada operasi pertama, dokter langsung memasang pen. Enam batang screw dipasang di tulang belakang Burhan. Celakanya, bukannya membaik, kondisi Burhan malah tambah jelek.
"Selama berbulan-bulan, badan saya rasanya nyeri semua. Enggak bisa duduk lama. Untuk tidur pun susah. Badan saya balik kiri-kanan seperti orang gelisah. Bahkan, kaki saya terasa berat seperti kebas dan sulit untuk bergerak," kisah Burhan. Yang paling berat, katanya, ia jadi susah salat. "Harus sambil duduk. Kalau kebetulan sedang di luar rumah dan sudah harus salat, terpaksa dilakukan di mobil sambil menghadap kiblat," jelas Burhan yang sehari-hari masih harus menggunakan korset ini.
Karena penderitaanya semakin menjadi, padahal sudah 16 bulan sejak dioperasi, Burhan kembali lagi ke RS itu. Mulanya, dokter OS yang menangani Burhan, menolak untuk mencabut screw. "Katanya, tak perlu dicabut karena tidak bermasalah. Tapi, kan, saya yang merasakan sakitnya? Dokter itu enggak tahu apa-apa. Mungkin gara-gara pen itu, badan saya sakit semua," kata Burhan.
Setelah dicapai kesepakatan, akhirnya Kamis (24/12) tahun lalu, dilakukan operasi kedua untuk mengeluarkan screw yang terpasang. Di sinilah masalah timbul. "Ternyata ada satu screw yang patah dan masih tertanam dalam badan saya. Ukurannya lumayan panjang, dua inci. Kami mengetahui itu dari hasil rontgen yang dilakukan dokter spesialis Radiologi."
Debbi Safinaz
KOMENTAR