Melihat kesungguhanku, akhirnya pihak sekolah mengizinkan naik ke kelas 2 dengan syarat aku hanya datang pada saat ujian dan itu pun dilakukan di kantin. Terserah mereka sajalah, yang penting aku bisa sekolah. Setiap hari kuminta orangtuaku memfotokopi semua bahan pelajaran dari guru dan teman. Meja belajarku jadi penuh oleh tumpukan buku dan kertas. Namun, karena efek kemo yang membuat tubuhku lemah, semua buku itu tetap tak tersentuh olehku.
Mama sangat membantuku. Untuk tetap menyemangatiku, ia memanggil guru les. Saat ujian tiba, ia mengantarku yang masih mengenakan kursi roda ke sekolah. Dan untuk menutupi kepalaku yang botak, Mama membelikan rambut palsu.
Beberapa bulan kemudian, kesehatanku berangsur baik. Kursi roda kuganti dengan kruk (tongkat penyangga kaki). Aku juga sudah boleh belajar di kelas bersama teman-teman. Yang menyulitkan, kelasku berada di lantai 3. Meski Mama dan Papa sempat melarangku mengingat kondisi itu, aku tak peduli. Aku selalu datang lebih awal dibandingkan teman-teman lainnya. Soalnya, untuk sampai di lantai 3, aku membutuhkan waktu 30 menit. Kunaiki anak tangga satu persatu dengan berusaha keras agar tidak terjatuh. Jujur, diam-diam kadang aku menangis saat melihat teman-teman dengan mudahnya berlari naik-turun tangga. Jam 09.00 aku harus turun lagi karena mesti menjalani terapi di RS. Selesai terapi, kembali lagi ke sekolah menyelesaikan jam belajar yang tersisa. Begitu terus, hingga jatah 25 kali terapiku selesai.
Lulus SMA, kusampaikan pada Mama dan Papa, aku mau mewujudkan cita-citaku menjadi dokter dan kuliah di Universitas Tarumanegara Jakarta. Pilihan ini sempat ditentang oleh Papa. Sebagai dokter, Papa sadar betul, diperlukan fisik yang kuat untuk bisa menjadi dokter. Kata Papa, lebih baik aku ambil jurusan Pertanian atau Psikologi, sesuai hasil tes minat bakatku. Namun aku bersikukuh ingin menjadi dokter.
Jauh di lubuk hatiku, aku tahu ketakutan Papa bukan itu. Ia sebenarnya cemas kalau aku harus hidup di Jakarta sementara aku juga masih harus menjalani pengobatan. Toh, akhirnya aku nekat kuliah Kedokteran. Selesai kuliah, aku sempat magang sebagai dokter dan relawan Hospice Home Care di Yayasan Kanker Indonesia. Tidak lama, hanya 6 bulan, karena setelah itu aku harus segera menjenguk Papa di Semarang yang terkena serangan jantung. Kupikir aku akan kehilangan Papa saat itu, tapi ternyata Tuhan sedang mengatur agar aku bisa bertemu dengan pangeranku.
Suatu hari Minggu di gereja, aku bertemu pria yang tak kukenal sebelumnya. Ia calon pendeta. Namanya Yotam Sugihyono (32). Jujur, aku tak punya perasaan apa pun padanya. Jangankan berharap bisa pacaran, membayangkannya saja, takut. Aku takut, bagaimana kalau pria itu dan keluarganya tidak bisa menerima kekuranganku.
Namun lama-kelamaan hubungan kami semakin akrab. Aku merasa nyaman berada di dekatnya. Sedikit demi sedikit aku mulai terbuka dengannya dan menceritakan penyakitku. Di luar dugaan, Mas Sugih malah memberi respons positif. Ia juga tidak pernah mengasihaniku. Itu yang aku suka. Dia selalu menguatkanku. Aku bahagia sekali.
Orangtuaku pun bisa melihat keseriusan mas Sugih. Ya, kalau dipikir-pikir, apa untungnya juga dia main-main denganku? Akhirnya, kami menikah Mei 2009. Tapi tak lama setelah itu kami memutuskan tinggal terpisah. Bukan karena bercerai, lo. Atas seizinnya juga, di bulan yang sama aku menerima tawaran sebagai residen (calon dokter spesialis) di bagian Ilmu Kedokteran Nuklir di Universitas Padjajaran Bandung. Sebulan sekali, suamiku mengambil cuti agar bisa menjengukku ke Bandung dan kalau dapat libur panjang aku yang mengunjunginya di Semarang.
Hari-hari kami lalui dengan penuh kebahagiaan. Selanjutnya, jika Tuhan mengizinkan, kami ingin punya anak. Meski kondisiku saat ini sangat sehat, dokter mengatakan, penderita kanker tidak akan pernah sembuh karena tidak ada yang memastikan apakah sel kanker itu benar-benar mati saat kemo dan terapi. Tapi aku optimis sudah sembuh dan akan punya anak!
Ester Sondang/ tamat
KOMENTAR