Ketika diculik tahun 1991, umurku baru 5 tahun. Hari itu, aku diajak Mama ikut jualan nasi padang di Pasar Inpres Senen. Sementara Mama di warung, aku main dengan anak-anak kecil lainnya di pasar itu. Penculikan itu seingatku, bermula ketika ada lelaki bernama Agus datang membawa makanan ringan. Aku pikir, dia karyawan Mama. Makanya aku ikut saja ketika diajak Agus pergi. Seingatku, dia langsung membawaku naik bus ke rumah Bu Era, istri Agus di Kuningan. Rumahnya kecil.
Tiba di Kuningan, Agus (yang kelak dikenal sebagai Baekuni alias Babe, Red.) menitipkan aku. Pada Bu Era, dia bilang, aku anak dari istri keduanya. Setelah itu Agus pergi lagi. Pertama-tama aku menangis tinggal di Kuningan. Tapi lama-lama tidak ingat lagi pada keluarga di Jakarta. Mungkin karena Bu Era memperlakukanku dengan baik layaknya anak sendiri. Maklum, dia tidak punya anak.
Di rumah Bu Era, juga ada perempuan tua yang aku panggil Nenek. Dia adalah bibi Bu Era. Pekerjaannya buka toko kelontong. Bu Era tiap hari membantu Nenek jualan. Dari sanalah kami hidup.
Umur 6 tahun aku disekolahkan di SD, tak jauh dari rumah. Namaku juga diganti menjadi Nina Marlina. Sejak saat itulah, kupikir Nina memang anak Agus. Ibuku, ya, Bu Era.
Seperti anak-anak pada umumnya, aku bergaul biasa saja dengan teman-teman sekolah dan teman bermain di rumah. Di Kuningan ini, aku boleh dibilang relatif tidak kekurangan. Maksudnya, makan, pakaian, dipenuhi semua oleh Nenek dan Bu Era. Agus? Dia hanya datang sesekali ke Kuningan. Biasanya, sih, setiap kali datang bawa anak lelaki. Entah siapa saja namanya.
Nah, ketika aku kelas lima SD, Bu Era sering pergi ke Jakarta untuk dagang rokok di pinggir jalan. Kadang sampai dua bulan tidak pulang lalu kembali beberapa lama, kemudian pergi lagi.
Rini Sulistyati/bersambung
KOMENTAR