Malam hari, di rumah petak yang kami sewa di Gang Ketut, Cakung, Jakarta Timur, anak-anak sudah tidur berdesakan. Aku memandangi keempat anakku itu. Hanya mereka yang tinggal bersamaku sekarang. Satu anak perempuanku, Tri Handayani (12), beberapa hari lalu pindah ke Padang, tinggal bersama pamannya. Sedangkan Ardiansyah (9), anak lelakiku, sudah tiada.
Ketika mengingat Ardi (anak ke-4 dari 6 bersaudara), aku pun dihinggapi perasaan bersalah. Aku kurang mengawasi dia sehingga nasibnya begitu buruk. Tak terbayangkan ia meninggal dengan cara begitu tragis. Mayatnya terpotong-potong, setelah disodomi pria yang kukenal bernama Babe alias Baekuni.
Meski begitu, aku menganggapnya pahlawan. Kematiannya menguak kejahatan yang telah dilakukan Babe selama ini. Dari kabar yang berkembang akhir-akhir ini, aku tahu, sebelumnya Babe sudah beberapa kali membunuh anak sebaya Ardi. Motifnya sama, yaitu menyodomi dan membunuh. Orang itu begitu kejam. Aku ingin dia dihukum mati. Utang nyawa dibayar nyawa!
Kisah sedih ini dimulai Kamis (7/1) lalu. Sampai jam 14.00, Ardi masih di rumah, lalu pamitan mau ngamen. Ya, sudah setahun ini ia memang mengamen di angkutan umum, sekadar buat jajan. Aku terpaksa mengizinkan. Kondisi keluarga kami yang pas-pasan memang tidak memungkinkan anak-anak mendapat pendidikan. Ardi pun hanya bersekolah sampai kelas 1 SD.
Saat ia berangkat, kunasihati agar berhati-hati. Biasanya, kalau mengamen, Ardi tidak pernah berlama-lama. Setelah dapat uang jajan, biasanya dapat Rp 5 - 7 ribu, ia sudah pulang. Ketika Magrib ia belum juga pulang, aku mulai mencarinya di PTC ( Pulogadung Trade Center) di Jalan Bekasi Raya, tempat anak-anak pengamen biasa kumpul. Di sana, aku menemui Babe, pria yang dikenal dekat dengan anak-anak pengamen, termasuk Ardi. "Lihat Ardi, Be?" tanyaku pada Babe yang sedang berjualan asongan di sana. Babe mengaku tidak tahu. Aku langsung pulang, berharap Ardi sudah sampai rumah. Ternyata, sampai malam, Ardi belum juga datang. Malam itu aku kembali mencarinya. Kali ini ke rumah Babe di kawasan Pulogadung.
Entah kenapa, hati kecilku mengatakan, Ardi ada di sana. Apalagi, Ardi tidak pernah main ke rumah lain kecuali di tempat kontrakan Babe. Tapi, lagi-lagi Babe mengaku tidak tahu. Kembali aku pulang dengan penuh rasa cemas. Sampai akhirnya keesokan harinya kudengar kabar menggemparkan, yaitu ditemukannya potongan tubuh bocah dalam kardus di dekat proyek Banjir Kanal Timur. Aku masih mencoba tenang. Apalagi, kabarnya masih simpang-siur. Ada yang bilang, itu jasad anak lelaki, ada juga yang bilang perempuan. Usia korban pun disebut berbeda-beda.
Dengan perasaan cemas, aku dan suami, Indra Arlen, melapor ke kantor polisi. Saat itu, kasus ini masih ditangani Polsek Cakung. Potongan tubuh itu pun sudah difoto. Aku tercekat ketika melihat ada bekas luka di tangan kanan di foto itu. Aku hafal betul, itulah ciri-ciri tangan Ardi. Di tangannya memang ada bekas luka akibat jatuh ketika ia belajar naik sepeda. Yang makin menguatkan keyakinanku, pusar mayat itu bodong, sesuai betul dengan ciri Ardi.
Aku langsung lemas dan menangis keras. Aku yakin, itu potongan jenazah anakku! Dari ditemukannya identitas Ardi, pelaku pembunuhan pun terkuak. Karena Ardi dan juga anak-anak pengamen dekat dengan Babe, polisi tentu saja mencurigai dia. Ternyata betul, setelah ditangkap, Babe mengakui perbuatannya dan menunjukkan bagian tubuh lain yang dibuang. Kepala Ardi ditemukan di bawah jembatan di Jalan Raya Bekasi.
Semua bagian tubuh Ardi sudah ditemukan namun jasadnya masih di RS Polri dan belum bisa dimakamkan. Kata polisi, masih menunggu proses pemeriksaan DNA selesai. Aku, sih, ingin Ardi secepatnya dimakamkan, agar jasadnya tenang. Dibantu tetangga dan kerabat, Kamis (14/1) malam, kami menyelenggarakan upacara 7 hari meninggalnya Ardi. Aku menghitung sejak jasadnya ditemukan.
HENRY ISMONO/ bersambung
KOMENTAR