Yang membuat heran, dibalik keterbatasan penglihatannya, daya ingat Bapak sungguh luar biasa. Kalau sedang lawatan ke luar negeri untuk membahas hubungan perdagangan, misalnya. Karena Gus Dur tidak bisa melihat, maka sebelum bertemu presiden setempat, biasanya menteri terkait memberi masukan data-data angka yang sangat rinci dan rumit. Semua itu didengarkan dengan seksama oleh Bapak. Dan percaya atau tidak apa yang didengarkan tadi kemudian diuraikan di depan kepala negara secara tepat dan gamblang, nyaris tanpa kesalahan.
Masih soal kekuatan hafalan pula, aku berani menjamin Bapak jauh lebih tahu tentang urutan-urutan presiden Amerika sekaligus dengan sejarahnya ketimbang presiden Amerika sendiri. Kalau menyangkut sejarah, Bapak sungguh luar biasa.
Kini setelah Bapak tiada, aku tak bisa menggelayut di pelukannya, memeluk atau menciumnya lagi. Kami semua juga tidak akan mendengar lagi celotehan, guyonan yang rasanya tak pernah berhenti dilontarkan. Namun, kami anak-anak Gus Dur tetap bersemangat untuk melanjutkan perjuangan dan ajaran-ajaran yang Bapak berikan. Termasuk keinginan Bapak untuk mendirikan pusat kajian Islam terbesar se-Asia Tenggara, serta mendirikan Universitas Abdurahman Wahid yang memang menjadi cita-cita Bapak sejak dulu. Semoga.
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR