Kapan terakhir kali ketemu Gus Dur?
Sudah agak lama. Saya itu tidak tega melihat Gus Dur sakit. Enggak sampai hati. Terakhir, saya bertemu sekitar bulan Juli ketika mau ujian disertasi. Waktu itu beliau sedang sakit. Kata dokter, sudah tiga hari tidak bisa ngomong karena radang tenggorokan. Badannya sakit kalau disentuh. Seingat saya, itu hari Senin. Begitu pintu saya ketuk sembari mengucap Assalamuallaikum, beliau teriak: "Zastraw!"
Gus Dur lalu tanya, ke mana saja saya selama ini. Saya bilang, sibuk menyusun disertasi. Dia berjanji akan datang bila saya ujian disertasi. Saya melarang. Akhirnya Ibu (Hj.Shinta Nuriah. Red.) yang datang. Gus Dur hanya minta fotokopi disertasi saya.
Ibu Shinta bagai ibu sendiri?
Iya. Dengan Lisa pun (putri tertua Gus Dur, Red .) kalau ada urusan seperti ini, saya yang dipanggil. Komitmen saya dengan Gus Dur, seperti yang selalu dikatakannya, yaitu orang dekat itu tidak selalu harus kumpul.
Anda memiliki hubungan yang amat personal dengan Gus Dur, bagaimana Anda memandang sosoknya?
Seperti orangtua dan guru. Saya kenal Gus Dur sejak masa susah. Ketika saya jadi aktivis diuber-uber tentara (zaman Orde Baru), ketika semua menghindar dimintai perlindungan, Gus Dur tampil ke depan untuk melindungi dan memberi arahan. Bukan hanya saya, tetapi juga teman-teman aktivis lainnya. Waktu saya masih kuliah di IAIN, Gus Dur mengkritik. Katanya, "Kamu lama mondok (pondok pesantren.Red.), kok, masih kuliah di IAIN."
Bantuan apalagi selain perlindungan? Materi?
Ya, ketika orangtua tidak member kiriman, Gus Dur membantu. Misalnya untuk transpor ke Yogya, makan dengan teman-teman. Soal uang, Gus Dur tidak pernah itungan. Gus Dur tak pernah lama memegang uang. Jadi, berapa pun pegang uang, pasti habis.
(Ketika Gus Dur terpilih menjadi presiden, ia mengatakan perjuangan belum berakhir. Zastraw pun diminta membantu di istana namun ditolaknya dengan alasan sudah banyak yang membantu di istana.)
Bersambung
Rini Sulistyati
KOMENTAR