Pernah mengalami diskriminasi seperti diolok-olok teman?
Saya, sih, enggak pernah aneh-aneh sebenarnya. Teman-teman juga enggak mendiskriminasikan saya. Tapi kalau perlakuan enggak enak, mungkin ada. Mereka suka bertanya. "Kenapa kamu laki-laki tapi suka bermain dengan perempuan? Kenapa suka bermain dengan permainan perempuan?" Cuma itu saja. Selebihnya, tidak ada yang sampai membuat saya sakit hati.
Kapan memutuskan untuk mengubah kelamin dan status menjadi perempuan?
Ini suatu yang alami. Saya merasa seperti perempuan, jadi saya melakukan apa yang perempuan lakukan. Jadi, saya merasa harus melakukan operasi ini. Ini masalah waktu. Sebenarnya itu proses. Contohnya kalau sakit, kita pasti periksa ke dokter. Nah, ini adalah bagian dari proses itu. Ada sesuatu yang lain dari saya dan harus saya konsultasikan pada ahli.
Saya datang ke RS Dr. Karyadi di Semarang untuk pemeriksaan awal, lalu kemudian dirujuk ke Surabaya. Saya melakukan pergantian kelamin di RS Dr Soetomo Surabaya dan Alhamdulillah operasi berjalan lancar.
Apa saja tahapan yang harus dilakukan?
Ada beberapa tes yang harus saya lewati. Yaitu tes psikologi, psikiatrik, obgyn, dan penyakin dalam. Itu mutlak dilakukan sebelum operasi penggantian kelamin.
Dapat tantangan dari keluarga, kerabat, atau lingkungan sekitar?
Tidak pernah ada suatu diskusi dengan orangtua, karena saya pikir ini tabu. Sampai saya bermaksud untuk operasi, kami tidak pernah membicarakan ini. Tapi saya yakin mereka tahu dan selama mereka tidak melakukan penentangan yang berlebihan saya juga masih bisa menjaga ini. Untungnya orangtua saya berpikiran terbuka. Belakangan saya utarakan niat untuk operasi dan akhirnya mereka mendukung.
(Bersambung)
Sita Dewi
Foto-foto: Agus Dwianto
KOMENTAR