Setelah menikah dengan Inge, seorang dokter gigi, tahun 1992, usaha foto kuserahkan kepada adikku. Bukan apa-apa. Studio itu, kan, kubangun semasa aku masih lajang. Jadi, dapatlah kusebut usaha keluarga. Aku dan istri memilih untuk mandiri. Usaha foto itu terus berkembang sampai sekarang.
Sambil jadi dokter, aku dan istri membuka jasa pembuatan video perkawinan, sebuah usaha yang tidak jauh dari dunia fotografi. Aku jadi juru kamera, istri yang mengedit. Lalu, tahun 1998, kami buka usaha biro iklan. Pernah pula kami membuat iklan teve untuk dua stasiun teve swasta nasional.
Hasil tes, sebenarnya aku termasuk unggulan dan satu-satunya WNI keturunan, meski sebenarnya aku lebih suka disebut orang Indonesia. Ternyata aku tidak diterima! Gagallah cita-citaku menjadi dokter spesialis mata. Jelas, aku sangat kecewa.
Tapi ternyata Tuhan punya rencana lain untuk hidupku. Di saat kekecewaan muncul, aku merenungi semua perjalanan hidupku. Kejadian demi kejadian terbayang. Salah satunya, tiba-tiba aku ingat ketika sebagai dokter, aku sulit mencari obat.
Kala itu, kalau hari libur, tidak semua apotek buka dan harus mencari informasi tentang apotek jaga. Pernah saat perlu obat, apotek jaga yang kudatangi sudah tutup karena letaknya lumayan jauh. Dari situ, aku keliling mencari apotek jaga lain. Sekalinya dapat, harga obat dinaikkan. Luar biasa menjengkelkan.
Henry Ismono
(Nomor depan: Kegagalan Gideon justru menumbuhkan kesuksesan. Sulit cari obat membuatnya membuka usaha apotek yang lengkap, buka 24 jam, dan harga tetap. Keberhasilannya bisa disimak di edisi pekan depan.)
KOMENTAR