Usaha Foto
Di masa SMP pula, aku mulai kenal dunia fotografi. Awalnya, sih, dipinjami kamera oleh teman kakak. Ketertarikanku makin berlanjut setelah kakak lelaki menikah dengan keluarga yang membuka jasa foto. Kakak pun mendirikan usaha foto. Aku sering membantu, sekaligus belajar otodidak tentang teknik fotografi.
Suatu saat, aku ikut lomba foto dengan kamera pinjaman. Kuabadikan obyek pemandangan saat aku ikut kakak ke Magelang. Tanpa diduga, aku berhasil meraih medali perak Lomba Foto Remaja PBB. Kemenangan itu memacuku untuk lebih maju. Selanjutnya, aku sering ikut lomba dan dengan sengaja mencari lomba yang menyediakan hadiah uang.
Meski bukan yang terbaik, di tiap lomba Tuhan sering memberiku kemenangan. Kalau dapat hadiah uang, selalu kuserahkan pada Mami dalam amplop. Terkadang Mami bertanya, "Kamu mau beli apa?" Aku tidak pernah beli pakaian. Sesuai hobiku, aku lebih suka beli lensa. Selama ikut lomba, aku memenangkan 30 kali lebih kejuaraan.
Aku makin serius menikmati dunia fotografi. Saat kelas 2 SMA di De Brito, Yogya, aku sudah membuka sendiri usaha foto yang kuberi nama Agata. Kumanfaatkan garasi yang tidak ada mobilnya itu. Tujuanku jelas, membantu orangtua. Aku memulai dari foto hitam-putih untuk KTP, ijazah. Ukurannya bisa 2 x 3 atau 3 x 4. Keuntungannya cukup lumayan.
Agar dapat uang lebih, aku memang cukup kreatif. Bersama dua kawan, kami pernah menyusun buku soal-soal Fisika untuk SMA. Buku sederhana terbitan sendiri yang dicetak dan distensil itu, kami jual dengan harga terjangkau. Oh, ya, aku memang cukup jago pelajaran Fisika. Saat ada acara Cerdas Tangkas (waktu itu belum ada Olimpiade Fisika), aku menjadi salah satu wakil sekolah.
Kesukaan pada Fisika membuatku ingin melanjutkan pendidikan ke jurusan ini usai tamat SMA. Namun, aku pernah mengalami sebuah peristiwa yang membekas di hatiku, yang membuatku lebih memilih Fakultas Kedokteran. Aku pernah kena penyakit gondongan. Dua hari aku demam tinggi dan rahangku bengkak. Oleh kakak sulung, aku dibawa ke dokter dan sakitku langsung hilang setelah disuntik. Sungguh aku takjub. Kayaknya senang menjadi dokter karena bisa membahagiakan banyak orang. Itulah yang mengantarku memilih Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Gadjah Mada, tahun 1983.
Gagal Untuk Sukses
Ternyata di FK tidak senyaman yang kuduga. Ada suasana diskriminatif. Sudah jadi rahasia umum, mahasiswa WNI keturunan seperti aku, tidak akan bisa jadi dokter spesialis. Semua teman seangkatan, tahu betul kondisi itu. Meski begitu, aku tetap berusaha menyelesaikan kuliahku dengan baik. Setelah enam tahun menimba ilmu, aku lulus dan setahun berikut sudah jadi calon pegawai negeri sipil. Aku bekerja di Puskesmas Umbulharjo.
(Bersambung)
Henry Ismono
KOMENTAR