"Banyak juga anak kecil yang keluar cacing mati besar-besar lewat kotorannya," tuturnya. Ada juga sebagian warganya yang dilarikan ke rumah sakit, tetapi tak lama sudah bisa pulang.
Kata Yati, sebelum membagikan obat, para kader sudah menerima pelatihan dari dokter di puskesmas setempat. "Dikasih tahu cara membagikan obat dan dosis sesuai usia peminum, juga soal efek samping obat." Tahu warganya punya penyakit berat atau tidak, tuturnya, "Hanya dari pertanyaan lisan saja. Tekanan darah enggak diperiksa karena enggak ada petugas medis. Bidan baru datang jam 10.00."
Memang, sambungnya, dokter yang melatihnya sempat mengusulkan pendampingan petugas medis. Tapi karena jumlah dokter dan bidan yang sangat terbatas, usul itu tak dapat terlaksana, "Hanya ada satu dokter dan beberapa bidan di puskesmas, sementara di wilayah kami ada 12 RW."
Sehari sebelum pembagian obat, ia menyebarkan undangan dan kartu pada warga untuk pengobatan (pengobatan dilakukan setahun sekali sepanjang lima tahun, Red.). Bahkan, untuk meyakinkan warganya, sebelum pembagian obat dimulai, Yati dan keluarganya memberi contoh dengan meminum obat terlebih dahulu.
"Tapi saya juga enggak maksa. Kalau enggak mau, ya, enggak akan saya kasih," tutur Yati yang mengaku sempat trauma karena menjadi sasaran protes warga setelah insiden mual-muntah melanda wilayahnya.
Sementara Kadin Dinas Kesehatan Jawa Barat, Alma Lucyati, berujar. "Obat itu, kan, salah satunya untuk membunuh cacing. Kebayang, kan, cacing kalau disentuh saja menggeliat, apalagi kalau dikasih obat yang membunuhnya. Pasti akan menimbulkan rasa mual luar biasa," katanya sesaat setelah kunjungan Komisi IX DPR-RI ke RSD Majalaya, Rabu (18/11) lalu.
Meski demikian, Lucy sadar, insiden ini telah meresahkan warga. Alhasil, ia akan menunda jadwal pemberian obat hingga ada rekomendasi dari pihak berwenang. "Memang, sih, pengobatan ini penting karena sudah jadi endemi di sini. Tapi, ya, ditunda dulu. Bukan dihentikan," ujarnya sambil menegaskan, pemberian obat sudah dilakukan di 26 kabupaten dan tak bermasalah.
Ia juga memaparkan temuan tim investigasi Komite Ahli Pengobatan Filariasis (KAPFI) yang menyelidiki kasus efek samping obat anti-kaki gajah di Bandung. Di antaranya, dari delapan warga yang dilaporkan meninggal seusai mengonsumsi obat, lima di antaranya tewas secara kebetulan (koinsiden). Sementara tiga warga lainnya didapati tidak mengonsumsi obat yang dibagikan secara serentak pada Selasa (10/11).
Lucy juga menekankan, pihaknya tak berusaha cuci tangan, "Dari 1.145 warga yang pergi ke rumah sakit setelah mengalami efek samping obat, ternyata hanya 26 orang yang dirawat. Tapi kami tetap melayani keluhan warga. Sekecil apa pun. Ini bukti sayangnya Pemerintah terhadap masyarakat," tegasnya.
Sita Dewi
KOMENTAR