Tangan kanan Cinta (4 bulan) terus menggenggam erat jemari saya. Seakan ia enggan berpisah dari saya, ibunya. Wajah Cinta sudah terlihat tenang, napasnya juga tak lagi tersengal-sengal. Ya, sejak dokter RS Kalisari Batang (Jateng) menanganinya, kejang Cinta mulai berkurang. Tangisannya pun berhenti.
Hanya saja, yang membuat saya khawatir, air matanya terus meleleh. Sepertinya ia merasakan kesakitan yang hebat. Makanya saya terus menciumi pipi Cinta yang montok itu, sambil sesekali membisikkan kalimat penuh harapan. "Nak, yang kuat, ya, biar Ibu tidak nangis terus."
Mendadak, dari lubang hidung Cinta keluar darah. Saya pun langsung menyekanya. Tak lama kemudian, airmatanya berhenti. Saya pikir kondisinya semakin membaik dan karena itu, pelan-pelan saya lepas genggaman Cinta.
Kala itu, saya sudah tak kuat menahan rasa ingin buang air kecil. Ternyata, sekembalinya dari kamar kecil, Cinta sudah tiada. Saya sempat histeris! Tidak menyangka Cinta akan pergi secepat ini. Apalagi, ia meninggal di tangan ayahnya sendiri.
(Luluk memang hanya mengetahui kondisi anaknya secara kasat mata. Beberapa tubuhnya tampak memar dan hanya tangan kanannya yang bisa digerakkan. Belakangan ia baru dapat informasi dari polisi maupun dokter bahwa tulang tangan dan kaki Cinta ternyata patah.)
Saya kenal Wiwit beberapa tahun lalu, lewat seorang teman. Awalnya, sih, hanya berhubungan lewat telepon dan SMS. Maklum Wiwit, kan, bekerja di Jakarta, sementara saya jadi pembantu rumah tangga di Pekalongan. Jadi, kami jarang bertemu.
Nah, suatu ketika, ia memberi kabar akan pulang dan ingin bertemu. Karena saya juga menyimpan cinta untuk dia, saya pun bersedia. Jadilah kami bersua di rumah Wiwit, Desa Gamer, Pekalongan Timur. Kebetulan, saya memang kerja tak jauh dari rumahnya.
Apes! Pertemuan pertama sudah membawa petaka. Saat rumah sepi, Wiwit menyeret saya masuk ke kamarnya. Saya pun diperkosa! Setelah puas, Wiwit mengancam, "Kalau lapor, saya tak mau bertanggung jawab!" Saya memilih bungkam.
(Bersambung)
Sita Dewi
KOMENTAR