Suasana tenteram dan gemericik air yang turun di jendela Restoran Huize Trivelli, segera saja membuat sejuk mata dan hati. Resto yang terletak di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat ini memang menjual kenyaman sekaligus kenikmatan masakan Belanda. Berbagai pajangan antik menghiasi dinding dan sudut ruangan. Terlihat beberapa foto hitam putih berpigura terjejer rapi berdampingan.
Lalu, begitu duduk di tempat yang telah disiapkan pramusaji, pandangan mata langsung tertuju pada alas makan yang sungguh unik, terbuat dari cetakan foto tempo doeloe yang dilaminating rapi. Tak lupa di bagian bawahnya disertakan informasi mengenai foto yang ditampilkan.
"Kami memang ingin pelanggan pulang dengan perut kenyang plus dapat pengetahuan sejarah," kata Manajer Operasional Huize Trivelli, Bambang Pangayoman. Ia mengaku sempat melakukan riset sebelum membuka resto ini tiga tahun silam.
"Untung Kakek dan Nenek dulunya guru yang hobi membaca. Jadi, kami punya banyak buku lama yang sangat berguna dalam riset," ujar Bambang yang dengan sengaja membidik pasar kelompok menengah dan para pensiunan. "Harga makanan paling mahal, Rp 75 ribu. Terjangkaulah untuk para kakek-nenek yang ingin menraktir cucu-cucunya."
Bersama sang kakak, Wahyuni Baliningtiyas, Bambang menghadirkan berbagai masakan yang dikategorikannya sebagai makanan Indische, yaitu masakan tradisional Indonesia yang telah disesuaikan dengan cita rasa dan disajikan secara Barat dalam hal ini Belanda. Demi menjaga keaslian resep dan kualitas makanan, Wahyuni turun langsung menyiapkan pesanan konsumen.
Soal tempat, Bambang juga menggunakan riset khusus. "Restoran ini terletak di Cideng, yang bagi orang Belanda membawa kenangan buruk karena di sinilah terletak kamp Belanda yang ditahan Jepang. Rumah yang dijadikan resto ini pun dulu berada di blok 3 kamp tersebut," tuturnya.
Bentuk rumah sengaja dipertahankan keasliannya. "Sampai-sampai, pernah ada orang Belanda yang dulu pernah tinggal di sekitar sini, sengaja datang untuk mengenang masa lalunya. Dia bilang, waktu umur 8 tahun sempat tinggal di kawasan ini. Bahkan dia pernah berenang di Kali Cideng yang dulu masih sangat bersih dan belum tercemar seperti sekarang."
Dulu, kalangan atas di Hindia Belanda ketika makan, di meja mereka penuh aneka masakan tetapi dalam porsi kecil. "Rijsttafel yang berarti nasi meja ini adalah bentuk pengaruh lokal terhadap kehidupan masyarakat Belanda saat itu. Tak aneh jika kemudian mereka akrab dengan nasi dan sambal. Bahkan nasi goreng sempat dibuat menjadi sebuah lagu, kan?" ungkap Bambang.
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR