(Dalam perbincangan terpisah, Wati bertutur, ia marah-marah karena dilarang kakak dan ibunya berangkat lagi ke Nepal untuk mendaki gunung. "Mungkin cara pandang keluarga saya yang sederhana, sementara saya ini petualang. Saya senang berada di daerah yang sejuk. Kepala terasa dingin. Makanya, sepulang dari sini (RSJ, Red.) saya ingin tinggal di Irian bersama kakak," kata Wati.
Wati juga sempat mengungkapkan kekecewaan hatinya lantaran orang-orang di tim pendakiannya ada yang pinjam uang tanpa mengembalikan. Bahkan ada yang "melarikan" sisa dana pendakian sehingga Wati tak memperoleh haknya. "Pernah saya tagih, tapi orang-orang itu bilang sudah terlambat. Maksudnya, uangnya sudah habis."
Dalam setiap kali pendakian, kata Wati, ia tidak mengharapkan imbalan, kecuali pengakuan. "Saya yang menancapkan Merah Putih di puncak Everest untuk merayakan kemerdekaan RI ke-51 . Saksinya, orang Nepal yang jadi guide saya. Makanya waktu turun, Menteri Pariwisata Nepal langsung memberi saya reward dan minta tolong dicarikan perempuan anggota parlemen yang hilang di Everest saat itu. Kalau ada orang Indonesia yang tidak percaya (prestasinya, Red), itu biasa."
Saat Agung Laksono menjadi Menpora di zaman pemerintahan Habibie, lanjut Wati, Agung pernah berjanji memberi hadiah rumah. "Saya enggak pernah menagih. Cuma, ketika pekan lalu ada tim Menpera datang ke sini, Pak Hamzah masih kenal saya. Padahal, saya tidak pernah menyebut nama saya. Saya hanya menyebut, 'yang pernah ke Everest ', lalu dia menyebut nama saya. Pada Pak Hamzah, saya tanya, 'Apa saya pantas dapat rumah?', jawabannya akan dipikirkan.)
Ternyata "pelajaran" itu tak mempan. Wati tetap saja suka marah-marah tanpa sebab yang jelas. "Dia tidak mau berterus terang apa masalahnya. Jadi, kami bawa ke RSJ di Magelang lagi tiga bulan lalu, " ungkap Rita yang pernah dilapori pengurus RT dan RW gara-gara Wati menyakiti salah satu warga. "Warga lalu minta pada keluarga kami agar untuk sementara Wati tinggal di RSJ saja, karena mereka trauma. Kesepakatan itu dibuat seminggu setelah Wati masuk ke RSJ."
Kenapa kesepakatan antara warga dan keluarga harus dituangkan dalam sebuah surat? "Wati itu kalau punya urusan harus ada hitam di atas putih. Urusan uang sama saya saja, dia minta bukti hitam di atas putih. Jadi, surat kesepakatan itu hanya sebuah cara untuk memberinya 'pelajaran' bahwa orang hidup tidak bisa sendirian."
Bukti kasih sayang orangtua dan saudara-saudara, kata Rita, tak perlu disangsikan lagi. "Kalau tidak sayang, mana mungkin tiap bulan saya datang menjenguk, melunasi utang ke warung dan tetangga. Utangnya bisa sampai Rp 300 ribu. Biasanya buat beli telur karena hobinya, kan, bikin omelet. Sekali bikin, pakai lima butir telur, kayak orang bule. Gaya hidupnya memang begitu. Bayangkan, pernah dia di Jakarta, tinggal di apartemen yang sewanya Rp 1,8 juta per bulan dan selama dua bulan dia tidak bayar. Kamilah yang membayar."
Sebulan lalu, kata Rita, pihak RSJ menyatakan kondisi Wati sudah membaik. Akankah keluarga membawa pulang? "Pastinya akan kami bawa pulang. Cuma, saya tidak bisa memutuskan sendiri. Harus menunggu keputusan saudara yang lain. Ibaratnya, kami ini satu tim."
Tak Sengaja
Sebuah ketidaksengajaan, membuat Clara alias Wati lebih cepat sembuh. Ceritanya, kata Direktur Medik dan Keperawatan RSJ Dr.Soeroyo Magelang, Dr. Bella Patriajaya, Sp.Kj, awal Oktober silam, staf Menpera datang ke situ. "Sebenarnya kedatangan itu untuk menemui Ibu Poppy yang mengajar tari di RSJ. Dia dicalonkan jadi Pemuda Pelopor. Nah, saat itu Wati mendatangi staf Menpera (Amir Hamzah, Red.) dan ternyata Pak Amir masih mengenali Wati sebagai pendaki Everest. Pengakuan itu, menambah kepercayaan diri Wati sehingga kondisinya yang secara medis mulai membaik bulan lalu, semakin baik. Dia sudah mulai realistis dan diperbolehkan pulang."
Kepulangan Wati, lanjut Bella, adalah untuk penyembuhan. "Bila keluarga dan lingkungannya mendukung, akan mempercepat penyembuhan. Dikatakan sembuh bila dia tidak minum obat lagi."
Menurut catatan Bella, sudah tiga kali Wati masuk RSJ Magelang. Pertama tahun 1997, lalu 2000, dan 2009. "Terakhir ia dibawa kemari karena merasa dirinya hebat. Dia juga mengamuk dan menyerang orang lain di sekitarnya. Dia merasa ada orang lain yang mencurigai dan akan menyerang dirinya."
Rini Sulistyati
KOMENTAR