Bagaimana detik-detik terakhir suasana di dalam mobil Kijang sebelum tertimpa musibah? Tak banyak yang diingat Ajeng. Siswi kelas dua SMP itu hanya bisa mengingatnya sebagian. Sejak berangkat dari Pamengpeuk, cerita Ajeng, ia duduk di jok belakang sebelah kanan. Di sebelah kirinya duduk Teten Sumarni, adik Iis yang berarti juga bibi Ajeng. "Sebelum berangkat pulang, Bibi minta saya SMS anak sulungnya, Aa Yuri, agar mendoakan keselamatan kami. Setelah itu Bibi minta teleponnya dimatikan saja. Kami langsung tidur selama perjalanan. Yang lain juga tidak saling berbincang."
Ketika mobil berhenti di Garut untuk makan, Ajeng dan Teten tidak turut makan. Seingatnya, usai makan, mobil melanjutkan perjalanan pulang. Ajeng dan Teten kembali memejamkan mata. Tetapi ketika matanya terbuka kembali, "Tahu-tahu sudah di rumah sakit (maksudnya - Puskesmas Cicalengka, Red.). Saya tanya ini ada di mana? Saya pikir sudah sampai Lembang, ternyata ada di rumah sakit. Kata dokternya, saya mendapat banyak luka."
Hingga kini Ajeng masih terbaring di kasur dan tak leluasa bergerak. "Kata dokternya, ada tulang pinggul yang masuk jadi dia kesakitan kalau bergerak. Karena itu kasurnya saya turunkan ke lantai agar dia tidak kesakitan bila ingin turun dari kasur. Tidur miring saja tidak bisa. Jalannya masih ngesot. Sebelum diurut, pipis saja enggak bisa," jelas Dede Rostiati, ibu Ajeng.
Selain ada tulang pinggul yang masuk ke rongga yang tak semestinya, telinga Ajeng juga sedikit sobek dan harus dijahit. Beberapa bagian di tangan dan kakinya baret-baret akibat pecahan kaca serta memar di beberapa bagian. Sebenarnya, Ajeng masih harus dirawat di rumah sakit tapi ia memilih berobat jalan di RS Antapani, Bandung. Kondisi psikis Ajeng kini membaik. Sebelumnya, kata Dede, memprihatinkan sekali. Beberapa kali ia memangil-manggil nama saudaranya yang sudah tiada. Ajeng mengaku didatangi keluarga yang meninggal. "Dia baru tenang setelah kami mendatangkan kiai untuk mendoakan Ajeng."
Musibah ini membuat perasaan Dede campur aduk. "Meski senang anak saya selamat, tetapi delapan saudara saya jadi korban," ucapnya. Semula, Dede dan suaminya, Abdul Wahid, dijadwalkan turut dalam rombongan Iis. "Kamis sore kami sudah di Lembang karena rencananya berangkat Jumat pagi tapi tiba-tiba suami demam, jadi kami batal ikut. Saya hanya titip Ajeng saja."
Selama anaknya pergi, tiga kali Abdul Wahid menelepon Ajeng untuk mengetahui kabar anaknya itu. "Entah kenapa sempat terlintas di benak saya, ada perasaan takut bagaimana kalau terjadi kecelakaan? Tapi pikiran buruk itu buru-buru saya hilangkan."
Namun, kabar di pagi buta soal kecelakaan keluarga besarnya, tak urung membuatnya syok. Dede dan suaminya kalut bukan kepalang kala Vera menyampaikan kabar buruk itu melalui telepon. "Jam 01.00 saya, suami, serta adik ipar langsung ke Garut. Selama di perjalanan saya memikirkan nasib Ajeng. Tidak terbayang keluarga besar saya mengalami kecelakaan separah itu. Mungkin khawatir saya histeris, saya tidak boleh ke TKP, melainkan langsung diarahkan ke Puskesmas Cicalengka. Mereka bilang Ajeng dan satu perempuan lagi selamat. Mendengar itu, saya bersyukur. Tapi belakangan saat tahu delapan keluarga saya meninggal, hati saya pilu tak karuan."
Harapan Dede, seperti halnya harapan Iis serta keluarga besar mereka, aparat hukum menindak sopir yang lalai karena rem truk diperkirakan blong. "Supaya kecelakaan seperti itu tak terulang lagi pada orang tak bersalah dan berdosa. Bayangkan, delapan saudara kami hilang sekaligus..." ujar Dede sambil menahan tangis.
RINI SULISTYATI
KOMENTAR