Saat ini, respirator, mesin alat bantu pernafasan, sudah dilepas. Hanya bantuan oksigen yang masih dipakai Aka. Selain itu, tubuh Aka diberi cairan infus, penahan nyeri, obat demam, dan obat lambung. Tidak ada obat untuk otaknya. Jadi, sekarang yang harus dijaga adalah agar kondisinya tetap stabil. Ia tidak boleh demam atau panas jika tak ingin terjadi sesuatu yang membahayakan dirinya.
Dilepasnya respirator sesungguhnya menandakan bahwa ia berhasil melewati masa kritis. Tapi dengan kondisinya yang koma seperti sekarang, lendir jadi bertumpuk di dadanya dan harus disedot secara berkala. Aku sering melihat selang panjang dimasukkan lewat mulutnya untuk mengambil lendirnya yang tak jarang bercampur darah. Kalau ia batuk, ya Tuhan, kasihan sekali.
Hasil terakhir CT Scan otak Aka menunjukkan, dari total 100 persen, setengahnya sudah rusak, 25 persen fifty-fifty, dan hanya 25 persen sisanya yang masih baik. Sebagian otak yang rusak sudah diangkat pada operasi kedua, 1 Mei lalu. Otomatis, hanya otak kiri yang Aka miliki sekarang. Pada operasi ketiga, dilakukan operasi untuk menutup tengkorak dan bedah plastik. Tulang-tulang di sekitar mata kiri yang hancur pun sudah diganti tulang buatan.
Menurut dokter, kalaupun Aka sanggup bertahan, hanya ada tiga kemungkinan. Pertama, jika ada mukjizat Tuhan ia bisa sadar, mandiri, bisa jalan, bicara, dan tidak amnesia. Tidak usahlah memikirkan ia bisa melanjutkan studi atau tidak. Asal ia bisa mengurus dirinya sendiri saja, itu sudah keajaiban luar biasa. Kemungkinan kedua, ia sadar, bisa berdiri, berjalan, dan berbicara, tetapi mengalami amnesia. Kemungkinan terakhir dan terburuk, anakku menjadi lumpuh.
Dengan kondisi Aka yang tak kunjung sadar begini, kondisi tubuhnya bisa terus menurun hingga jadi lumpuh dan kembali ke titik nadir. Ia bisa sadar tetapi tidak berdaya ibarat bayi baru lahir. Ini bisa terjadi karena syaraf motoriknya sudah tidak berfungsi lagi. Otaknya sudah tidak sanggup memerintahkan tubuhnya untuk berjalan, menangis, duduk, dan sebagainya seperti manusia normal.
Sebenarnya, akibat kecelakaan itu, kondisi Aka bisa dibilang lebih parah ketimbang kondisi Teeza yang sudah berpulang menghadap-Nya. Hanya kondisi jantung dan paru-parunya yang masih bagus, yang membuat ia masih bisa bernafas meski tak sadarkan diri hingga sekarang. Aku tahu dan yakin, Aka anak yang kuat!
Dari luar aku berusaha bersikap tegar demi Aka. Tapi bila sudah melihat kondisinya sekarang, sungguh rasanya luar biasa sedih. Tapi aku harus kuat. Jika tidak, aku bisa hancur. Padahal, siapa lagi yang bisa Aka andalkan kecuali aku, ibunya? Pengalaman ini juga pada akhirnya membentuk pribadiku menjadi lebih tabah.
Kini, setiap hari, aku juga tetap beraktivitas seperti biasa. Bekerja seperti orang kantoran lainnya. Untungnya, perusahaan sangat perhatian dengan mengizinkan aku pulang satu jam lebih awal untuk menjaga Aka di rumah sakit. Tiap kali duduk di dekatnya, aku berusaha berkomunikasi dengan Aka.
Baru-baru ini, untuk pertama kalinya, Aka memberi respons. Saat itu aku menumpangkan tanganku di atas tangannya sambil berujar, "Genggam tangan Mama, Nak." Tanpa kuduga, ia lantas merespons dengan menggenggam tanganku! Bahkan ia sempat mengangkat tangannya. Masya Allah! Bahagia sekali rasanya. Peristiwa itu memberiku optimisme.
Selain itu, tak banyak respon signifikan yang ia tunjukkan. Paling sering, respons berupa gerakan mulut seperti mengunyah. Pernah juga ia meneteskan air mata dari mata kanan saat aku membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Terapi secara rutin diberikan pada Aka yang masih belum sadar. Pertama kali terapi dilakukan setelah operasi kedua, tubuhnya diangkat dan dipindahkan ke kursi roda. Saat itu, tensinya langsung naik. Buru-buru ia dikembalikan ke posisi tidur. Kedua kali dicoba, setelah dua jam jantungnya drop, ia ditidurkan lagi. Baru pada percobaan ketiga, tensi dan jantungnya mulai stabil.
KOMENTAR