Anak-anak terpaksa kutinggal di rumah karena takut mendapat siksaan lagi, walaupun akhirnya ia memanfaatkan kondisi itu untuk menuduhku meninggalkan anak-anak. Ditemani tante-tanteku, akhirnya aku mengadu kepada ayahku. Ayahku amat kaget. Ibuku bahkan sampai kini tak tahu, karena ayah sangat melindungi perasaan Ibu yang baru saja sembuh dari sakit kanker.
Sebetulnya, tahun lalu aku sudah pernah mengadu kepada tante-tanteku dan mengutarakan keinginanku untuk bercerai dari Abang. Tapi mereka memintaku bertahan. Apalagi, di depan mereka, Abang menangis, minta maaf, dan bersikap manis padaku. Namun, kini aku tak tahan lagi. Aku pun bisa bernapas lega karena keluargaku akhirnya mendukung keputusanku.
Namun, semua itu rupanya masih belum berakhir. Awal Mei lalu, saat ke Medan untuk menenangkan diri sambil menyelesaikan tulisanku, teror itu kembali terjadi. Saat itu, aku minta tolong temanku Fadli Abdullah, untuk mencarikan kamar hotel. Fadli yang kebetulan tengah menginap di sebuah kamar suite hotel di sana, merelakan kamarnya kupakai, sementara ia menggunakan kamar lain.
Oleh karena empat hari sibuk menyelesaikan tulisan dan tak keluar kamar, malamnya aku lalu mengajak Bang Fadli menikmati suasana kota. Pulangnya, ada orang mengetuk kamarku, memberitahu ada oknum intel Polda mencariku. Aku mulai tak tenang. Seperti saat di kamar hotelku di Jambi ketika aku sempat pulang dua hari untuk menengok anak-anakku sebelumnya, di Medan telepon di kamar hotelku tak berhenti berdering.
Malamnya, Bang Fadli menelepon, memberitahu bahwa ia ditelepon Abang. Menurut Bang Fadli, suamiku menyuruhnya mengaku berselingkuh denganku. Kalau tak mau, dia akan dibunuh. Tengah malam, Bang Fadli kembali menelepon, memberitahu anak-anaknya di Banda Aceh disatroni orang tak dikenal. Dia terpaksa mengungsikan anak-anaknya. Aku merasa tak enak kepada Bang Fadli. Gara-gara menolongku, ia dan anak-anaknya ikut terlibat. Esoknya, aku pulang ke Jakarta dan mencari pengacara. Kami lalu melaporkan perilaku suamiku ke Bareskrim pada 8 Mei dan ke Propam Mabes Polri pada 10 Mei.
Saat harus menandatangani laporan BAP, aku menangis karena sebetulnya aku tak ingin melaporkan suamiku sendiri. Bagaimanapun, ia ayah anak-anakku. Tapi apa yang dilakukannya selama ini, sudah terlalu banyak melibatkan orang-orang yang tak bersalah. Sepulang dari Medan, aku kaget karena e-mail-ku tak bisa dibuka. Abang pun mengunci e-mail dan blog-ku. Itu ia akui sendiri. Facebook milikku pun diutak-atik. Ia memang tahu semua username dan password e-mail, blog, dan akun Facebook-ku.
Kalau boleh berkata jujur, sebetulnya, Abang cinta matiku. Makanya aku rela bertahan belasan tahun hidup bersamanya meski selalu dipukuli. Namun, kini aku ingin hidup tenteram, jauh dari kekerasan fisik dan mental yang selama ini selalu mencekamku. Biarlah perceraianku ini jadi kado ulang tahunku, 20 Mei mendatang. Kado yang tak pernah kuharapkan sama sekali...
"Tuhan Pasti Memberi Kekuatan"
"Kita mengakui hidup ini tidak pernah akan berjalan sempurna terus seperti yang kita inginkan, segala sesuatu dalam hidup kita yang "well planned" maupun "well organized", ternyata ada juga yang berakhir dengan kegagalan."
Begitu sepenggal kalimat yang ditulis Rere alias Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Reinhard Hutagaol Sik., suami Miss Jinjing, tertanggal 11 Mei lalu. Pak polisi yang satu ini memang rajin mengisi blog pribadinya, Polisi Oh Polisi, dengan berbagai tulisan dengan topik-topik yang menyangkut profesi, pengalaman hidup, serta orang-orang di sekitarnya.
Namun, tak seperti sebelum-sebelumnya, belakangan ini Rere kerap mengangkat topik berbau rohani. "Mohon maaf untuk beberapa waktu ini saya jadi suka menulis tentang kerohanian, saya hanya sedang belajar menemukan suatu yang bermakna dibalik tulisan saya..." tulis Rere yang pernah menjadi Kapolsek Cilincing, Jakarta Utara (2001-2002).
Dari berbagai tulisan di blog-nya, terkesan jelas ada dua perempuan yang memiliki tempat tersendiri di hati ayah dari tiga anak lelaki ini. Yang pertama, tentu saja Miss Jinjing, sang istri, yang mendapat panggilan mesra dari Rere, yaitu "yayang tercinta, mantan pacar". Yang kedua adalah adik kandungnya, Trinity. Adik perempuannya yang bernama asli Perucha ini, sukses mengangkat blog-nya "Naked Traveler" menjadi buku berjudul sama dan sangat laris di pasaran. "Saya sangat bangga pada adik saya," tulis polisi berprestasi di Polda Jambi yang kini menjabat sebagai Kepala Detasemen 88 Anti teror Polda Jambi ini.
Entah apa yang tengah terjadi, yang jelas di Twitter-nya (Reregaol), ia menulis, "Maksud Tuhan kadang kita tidak mengerti, di balik kegagalan kemarin, aku ternyata dibuat mengerti tentang pengkhianatan dan kesetiaan..." Sayangnya, suami Miss Jinjing ini tak bisa dihubungi untuk dimintai komentarnya berkaitan dengan pengakuan istrinya.
Penegak Hukum Tapi Mengancam
Pengacara Mis Jinjing untuk kasus pidananya, Ariano Sitorus, BAc, SH, MM, mengungkapkan, kliennya terpaksa melaporkan kasus ini ke Bareskrim Mabes Polri untuk kasus kriminalnya dan ke Propam Mabes Polri karena merasa sangat terancam. Selain itu, apa yang dilakukan suami kliennya itu sudah merembet ke pekerjaan kliennya yang berhubungan dengan pihak-pihak lain yang bekerjasama dengannya.
"Apalagi dia juga masuk ke blog klien saya dan merusaknya. Kami juga akan mengaitkannya dengan pelanggaran UU IT. Klien saya sudah sangat takut untuk kembali ke Jambi. Seharusnya, sebagai penegak hukum, suaminya tidak melakukan hal itu. Apalagi melakukan ancaman pembunuhan. Kalau penegak hukum bersikap seperti ini, lalu ke mana masyarakat mencari perlindungan hukum?" tanya Ariano.
HASUNA DAYLAILATU
KOMENTAR