Entah dari mana asal-muasalnya, yang kemudian terjadi adalah munculnya isu suap yang dilakukan oleh ibunda Jane demi memenjarakan dan menjerat Alter lewat tes DNA. "Kalau Alterina datang ke dokter minta dibuatkan keterangan jenis kelamin, itu hak dia. Tapi yang mana yang dipakai, dalam KUHAP ada prosedur yang harus dilalui. Dan itu yang akan digunakan di pengadilan nantinya!" tepis Dewi Susianti SH, kuasa hukum ibunda Jane, Grace Hadipuspito.
Grace berpendapat, hasil tes yang dimiliki pihak Alter tidak lebih akurat dari milik penyidik. "Setahu saya, forensik itu hanya memeriksa secara fisik. Fisik itu, kan, bisa diubah atau dioperasi. Nah, yang berkaitan dengan Alterina Hofan, sebaiknya mesti dengan dokter ahli di bidang genetik (DNA)," ungkapnya.
Sementara Dewi menyangsikan keterangan dr. Mun'im yang mengatakan Alter punya buah zakar tapi kantungnya tidak berisi. "Tidak bisa dia (Mun'im) bilang Alter punya buah zakar tapi kantungnya tidak berisi dan ada belahan. Itu, kan, perempuan?!" ungkap Dewi sangsi. Ia malah menyarankan pihak Alter, bila mereka tidak puas dengan hasil yang diperoleh penyidik, "Seharusnya mereka mengajukan permintaan tes pembanding sejak awal kepada penyidik. Kalau mereka merasa pintar sebagai lawyer hebat, buktikan saja bahwa Alterina laki-laki dan tidak ada pemalsuan di situ," sergah Dewi.
Menanggapi rumor seputar Sindroma Klinefelter dan terapi hormon testosteron, Prof. DR. dr. Wimpie Pangkahila Sp.And FAACS, menjelaskan seputar fungsi terapi hormon bagi penyandang Klinefelter. Terapi hormon testosteron adalah salah satu bentuk pengobatan bagi mereka yang divonis mengidap sindrom tadi.
Pada dasarnya, kata Wimpie, penderita Klinefelter memiliki kadar testosteron yang rendah dalam tubuhnya. Seperti halnya pada wanita menopause, kadar testosteron yang rendah membuat beberapa fungsi tubuh pria menjadi tidak berjalan dengan baik. Dampaknya, kualitas hidup penderita pun jadi tidak optimal.
Pada wanita yang menopause, kekurangan estrogen menyebabkan kekenyalan kulit berkurang, siklus reproduksi terganggu, hingga kualitas kapiler darah berkurang dan meningkatkan risiko jantung koroner. Pada pria bisa memengaruhi pengurangan testosteron. Bukan hanya libido dan kemampuan ereksi yang terganggu, tapi risiko obesitas, disregulasi insulin (penyebab gula darah naik, kolesterol tinggi dan hipertensi), dan osteoporosis meningkat.
Oleh karena itulah, jelas guru besar Seksologi dan Andrologi Universitas Udayana ini, penderita Klinefelter memerlukan terapi hormon yang kontinyu untuk memperbaiki kualitas hidupnya. "Kalau dibiarkan, energi dan kemampuan hidup sehari-hari, juga fungsi seksual akan menurun," ungkapnya.
Namun, Wimpie menolak bila terapi ini kemudian membuat seseorang menjadi berfungsi seksual secara normal. Selain itu, terapi testosteron yang diberikan tidak memberi pengaruh pada kromosom. Hormon testosteron yang diberikan, urainya, memang bekerja memengaruhi otot, darah, membuat pembentukan sel darah merah lebih banyak, membentuk massa otot, memberi dorongan seksual, dan lainnya. "Tapi tidak mengubah apalagi menjadikan penderita pria normal secara fungsi reproduksinya. Bila dikatakan terapi testosteron membuat ciri seksual sekunder berkembang (misal, rambut kelamin), memang dapat saja terjadi perubahan, namun tidak terjadi secara signifikan. Perlu waktu dan tergantung usia untuk terjadi perubahan."
Laili Damayanti, Noverita K. Waldan
KOMENTAR