Kepastian akan mendapat bayi kembar baru kuketahui ketika usia kehamilanku menginjak bulan ke-3. Itu kabar menggembirakan mengingat kami sudah memiliki sepasang anak sebelumnya. Kabar membahagiakan itu kuterima Maret 2009 dari dokter Puskesmas Karanganyar, Jakarta Pusat, dekat tempat tinggalku.
Ceritanya, saat melakukan USG dua dimensi, terlihat ada dua titik hitam di foto USG itu. "Kemungkinan bayi Ibu kembar. Semua fungsi organ di tubuh bayi terlihat bagus," terang dokter itu.
Bulan berikutnya, tepatnya 6 April 2009, aku memilih memeriksakan kehamilanku ke dokter Bambang WS di RS Hermina Podomoro. Ia memperkirakan persalinan bakal berlangsung Desember 2009. Sayangnya, pada 15 September 2009, ketika kehamilanku memasuki tujuh bulan, aku mengalami kontraksi. Rasanya seperti (maaf) pipis, tetapi tidak keluar airnya. Khawatir terjadi sesuatu dengan janinku, aku periksa lagi ke dr. Bambang.
Ternyata, kata dokter, air ketubanku bocor sehingga merembes. Merembes ke mana, aku tidak menanyakan kepadanya dan aku menurut saja ketika disarankan istirahat di rumah sakit. "Kalau bed rest, janinnya bisa disimpan sebulan-dua bulan," kata dr. Bambang.
Aku menduga kebocoran air ketuban itu akibat kelelahan. Bayangkan, seminggu menjelang Lebaran pembantu pulang kampung. Sebagai ibu rumah tangga, aku pun dibuat sibuk karenanya. Tiap pagi belanja ke pasar naik motor. Selain itu, harus mengurus rumah tangga, suami dan dua anak. Aku juga masih membantu bisnis agen laundry milik suamiku, Erdiansah. Bisnis ini hanya bisnis sampingan, mengingat suamiku adalah pekerja kantoran.
Selama dua hari istirahat di RS, pikiranku jadi bercabang. Di rumah tak ada pembantu, sementara dua anak di rumah. Akhirnya, aku bilang ke dr. Bambang agar diizinkan pulang dan berjanji akan istirahat di rumah.
Ternyata setelah tiga hari istirahat di rumah, Jumat, 18 September nyaris tengah malam aku mengalami kontraksi lagi. Kali ini lebih hebat. Aku kembali ke RS. Dokter memutuskan bayiku harus dikeluarkan dengan cara operasi, saat itu juga. Menjalani operasi caesar saat usia kehamilanku baru tujuh bulan, tak pernah kubayangkan sebelumnya. Malam itu, kupikir dokter hanya memberi obat untuk meredakan kontraksi saja. Tapi karena dokter memutuskan seperti itu, aku menurut saja. Operasi pun dilakukan Sabtu, 19 September sekitar jam 05.00.
Selama dioperasi, aku hanya minta bius lokal agar bisa melihat bayiku lahir dan mendengar tangisnya. Benar saja, aku bahagia bisa mendengar suara bayi saat diangkat dari rahimku. Kira-kira sepuluh detik kemudian terdengar suara bayi kedua, meski hanya "ngek" saja.
Kuberi nama si kembar Aira Fitri Tandiansah dan Anisa Fitri Tandiansah. Aku tidak tahu bayi yang mana yang lebih dulu lahir. Yang jelas, setelah ditimbang, Aira hanya berbobot 975 gram dan Anisa 1.015 gram. Berhubung si kembar lahir prematur, keduanya dimasukkan ke dalam boks inkubator yang berbeda dan disimpan di ruang NICU (Neonatal Intensive Care Unit, ruangan ICU khusus bayi yang baru lahir, Red.).
Tiga hari setelah persalinan, aku diizinkan pulang, tetapi dua bayiku tetap berada di RS. Sebelum pulang, aku sempat masuk ruang NICU untuk melihat kedua anakku. Rasanya miris lantaran banyak selang di tubuh mereka. Hari berikutnya, aku sempat memenuhi panggilan RS untuk mengantarkan ASI.
KOMENTAR