Sehari sebelum kecelakaan, aku masih mengantar Teeza kembali ke rumah dinasnya di Curug. Kami sempat mengobrol soal kemantapannya bergabung dengan AirAsia yang langsung ia jawab, "Ya iyalah!" Ia juga berpesan agar aku mengantarnya ke Bandara Soekarno Hatta pada Sabtu subuh untuk penerbangan perdananya.
Malam itu, ia begitu tak sabar ingin cepat sampai di rumah dinasnya dan segera beristirahat karena harus terbang pagi esoknya. Senin (19/4) itu, ia harus melatih taruna STPI.
Jam 06.00, ia sudah melatih satu taruna dan berjalan lancar. Latihan hari itu adalah touch-and-go landing, yaitu menyentuhkan roda pesawat seperti hendak mendarat dan langsung terbang kembali. Taruna kedua yang ia latih adalah Sephazka Abdillah (19). Berdasar info yang kudapat, latihan berjalan lancar.
Setelah ia mendapat kode "clear to land" dari menara pengawas, pesawat Tobago TB-10 itu pun bersiap mendarat. Mungkin, motor yang ingin melintas itu sudah bersiap-siap di pinggir landasan. Kalau pesawat berlatih touch-and-go landing, beberapa detik setelah roda pesawat menyentuh landasan, ia akan segera terbang kembali.
Saat hendak kembali terbang, moncong pesawat pasti sudah menghadap ke atas. Mungkin, dipikir si pengendara motor itu, pesawat latih akan segera terbang dan mereka bisa melintas. Ternyata, Teeza sedang memberi latihan aborted takeoff atau pembatalan penerbangan, sehingga moncong pesawat yang tadinya mendongak ke atas malah kembali ke bawah.
Sial, motor itu sudah terlanjur melintas. Sayap pesawat sebelah kiri menyenggol motor dan pesawat latih itu pun terpelanting. Saat Teeza dan Sephazka dievakuasi, pesawat latih itu dalam keadaan terbalik.
Kawan-kawan STPI langsung melarikan Teeza ke RS Siloam, Karawaci. Kata temannya, Teeza masih merespons saat diminta menggenggam tangan temannya di perjalanan menuju rumah sakit.
Sejak Teeza masuk ruang ICU, aku tak putus mendoakan agar ia bangun. Kondisi Teeza sudah parah. Banyak saraf-saraf dan pembuluh darah kaki kanannya yang putus. Lukanya pun begitu lebar. Ia juga mengalami patah tulang di banyak bagian.
Operasi pertama yang diberikan adalah untuk menyambung kembali pembuluh darah yang terputus. Operasi yang berlangsung selama 12 jam itu bisa dibilang lancar. Saat aku membisikkan beberapa kalimat, tensinya naik. Kata dokter, artinya ia bisa mendengarku.
Selasa (20/4) pagi, dokter menyatakan, tak ada pilihan lain kecuali mengamputasi kaki kanannya. Aku sudah meminta evakuasi medis ke Singapura tapi kondisi Teeza tak memungkinkan untuk dibawa terbang. Lagipula, menurut dokter, dibawa ke ujung dunia pun, dengan kondisi seperti itu, tindakan amputasi adalah prosedur yang sudah pasti akan dilakukan. Aku pun pasrah dan hanya minta operasi dilakukan setelah ayahnya sampai di rumah sakit.
Operasi amputasi dilakukan Selasa sore. Sebelum masuk ruang operasi, aku sempat membisikkan kalimat-kalimat penyemangat di telinga Teeza. Operasi berjalan singkat dan bisa dibilang berhasil meski Teeza tetap dalam kondisi kritis.
Hingga Jumat jam 07.00 pagi, seperti biasa dokter akan memanggil keluarga untuk memberi laporan kemajuan. Kata dokter, kami hanya tinggal menunggu panggilan Allah. Tindakan maksimal sudah diambil, tapi tak ada tanda-tanda kemajuan. Kalaupun Teeza masih hidup, semua karena bantuan mesin. Dokter hanya meminta keikhlasan dan ketabahan kami.
Bagiku, mungkin itu pilihan terbaik meski terasa amat berat. Tak bisa kubayangkan betapa hancurnya hati Teeza kalau ia sadar hanya memiliki satu kaki, sementara terbang adalah hidupnya. Agar lebih kuat, aku memutuskan makan roti cokelat sebagai penambah energi.
Tapi begitu mau duduk dan makan, dokter sudah memanggil kami untuk masuk. Di dalam, dokter hanya meminta aku menyampaikan pesan terakhir untuk Teeza. Tanpa menangis kubisikkan kepadanya, "Pergilah, Nak, bila itu yang terbaik. Pergilah dengan tenang. Ibu ikhlas..." Setelah itu, dokter berujar, "Sudah flat." Anak lelakiku sudah pergi menghadap pencipta-Nya.
Sungguh aku ikhlas ia pergi. Keluarga Yopi, pengendara motor yang tewas itu, juga datang padaku dan meminta maaf. Akibat kecerobohan anaknya, aku harus kehilangan anak. Aku memang tak ingin secara langsung memaafkan, Aku dan suamiku hanya berpesan agar ia bisa memberi penyuluhan kepada warga setempat untuk tidak menyalahgunakan landasan pacu.
Anak lelakiku satu-satunya sudah tiada. Teeza Ariaputra adalah kebanggaan keluarga. Tak pernah kami lupakan saat si pendiam yang penuh kejutan itu menyerahkan wing Private Pilot Licence (PPL) kepada Romrom-nya. Dua hari setelah Teeza pergi, aku membuka kembali dokumen-dokumen lama.
Salah satunya surat yang menyatakan ia resmi sebagai pilot solo, yang artinya ia resmi memulai kariernya sebagai penerbang. Di surat itu tertera kode PK AGU sebagai pesawat yang ia terbangkan pertama kali secara solo. Pesawat yang sama pula yang terakhir ia terbangkan di hari yang nahas itu.
Selamat jalan, anakku! Terbanglah tinggi menembus langit tanpa batas...
SITA DEWI
KOMENTAR