Apa yang sudah Anda persiapkan?
Pertama, sudah pasti, segala hal buruk. Termasuk kemungkinan sampai masuk penjara. Tapi aku senang dengan adanya mediasi. Bagiku ini sebuah kemajuan luar biasa. Aku lega. Setidaknya akan lebih banyak kesempatan bertukar pikiran dengan banyak pihak berwenang. Tapi, lagi-lagi, aku tetap bersyukur, karena melalui ini semua aku berjanji akan lebih lebih hati-hati dan akan melakukan banyak introspeksi ke depannya.
Ada teror yang Anda terima?
Setelah kasus ini makin ramai, banyak telepon tidak dikenal yang masuk ke handphone-ku, tapi aku enggak mau angkat. Teror dalam bentuk fisik, sih, enggak ada, tapi beberapa hari setelah tayangan itu, ada gelagat aneh dari beberapa orang. Mereka berkumpul dan kasak kusuk ke kru kami. Sempat juga parno (paranoid, Red.) saat nyetir, seperti ada yang ngikutin.
Sampai begitu, ya?
Ya. Rasanya aneh karena sebelumnya aku selalu berpikir sendiri, terbiasa mandiri, dan jarang mau berbagi dengan orang lain. Tapi menghadapi teror, apa pun bentuknya, aku sudah menyiapkan mental sebaik mungkin. Benar apa yang dikatakan temanku, "Berita baik tidak perlu persiapan diri, tapi berita buruk harus persiapan mental."
Dendam kepada Andris?
Aku justru sempat jatuh kasihan kepadanya. Aku bertanya, kenapa dia tega melakukan semua ini? Kenapa dia tidak konsisten terhadap apa yang diceritakannya ke kami? Tapi aku tidak membencinya. Mungkin dia punya alasan tertentu yang kami tidak tahu. Lagipula, kalau aku menanam kebencian, aku juga yang merasakan dampak buruknya.
Aku banyak mendapat doa dan dukungan. Malah ada yang mau bantu menangani kasusku. Intinya, aku harus tetap rendah hati dan tidak menjadi khawatir. Mulai dari Armand Maulana, Badai Keris Patih, Aviliani, teman-teman di Antv, sampai Iham Bintang. Mereka semua benar-benar menaruh simpati. Alhamdulillah. Karena kalau enggak ada orang-orang seperti itu, rasanya berat sekali.
Aku juga sempat enggak bisa tidur sehari karena berusaha melindungi narasumberku. Pimpinanku minta aku memberitahu, tapi kutolak. Ya, bagaimanapun, itu sudah risikoku. Beruntung pada akhirnya semua mem-backup dengan satu ide bahwa memang wartawan harus melindungi narasumbernya.
Pengalaman menegangkan lainnya?
KOMENTAR