Sungguh tak pernah ku duga, tahun 2010 ini aku sudah memiliki 13 cabang restoran Oenpao yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Sebut saja di Kyai Maja (tepat di depan RS Pusat Pertamina), di Wisma Metropolitan Kemang, Menara Jamsostek Kelapa Gading, Semanggi, Radio Dalam, Pondok Indah, Bogor, dan di Bali ada dua. Menyusul 6 cabang lagi di Cibubur, Jakarta Theater, dan di Bali. Tentu saja tempat yang tak pernah aku lupakan dan merupakan restoran Oenpao pertama adalah di Pasar Modern Bumi Serpong Damai ini.
Banyaknya restoran milikku tentu saja melalui perjuangan panjang, tidak terjadi tiba-tiba. Sebenarnya aku dan istri, Lia Indrowati Muskita (44), sejak 2001 sudah memproduksi bakpao. Waktu itu anak-anak kami, Putra Arya Nugrakrista Muskita (20) dan Aditya Putralatu Muskita (18) sudah besar dan punya kesibukan sendiri. Jadi, istri ingin mencari kesibukan dengan ikut les membuat kue. Lalu, istri mencoba membuat bakpao.
Lalu, bakpao itu kami kirim ke restoran, rumah sakit atau kafetaria. Malah kami sudah memberi nama bakpao itu dengan nama Oenpao. Oen dari nama keluarga istri saya, pao ya nama bakpao, jadilah Oenpao. Oh ya, aku sendiri berasal dari Ambon.
Setelah 4 tahun memproduksi, tahun 2005 ada teman yang mengajak pameran di sekolah St. Ursula BSD. Tentu saja dengan senang hati aku ikut berjualan. Ternyata di luar dugaan, respons pengunjung sangat bagus. Padahal aku hanya menyediakan 3 jenis dimsum dan bubur. Saking banyaknya pembeli, aku sampai bolak-balik ke rumah mengambil stok.
Itulah pertama kalinya kami berjualan dan sukses. Kenapa sampai laku? Resepnya ada di istriku yang pandai memasak. Mulai dari bumbu, bahan-bahan dasar, dia lah yang mengolah dan belanja sendiri.
Nah, berapa hari kemudian kami kebetulan sedang berbelanja di Pasar Modern BSD. Tiba-tiba kami ditawari kios untuk menjual makanan di sana. Kebetulan ada kios kosong, apalagi saat itu harganya juga tak terlalu mahal. Entah kenapa, aku terima tawaran itu, pokoknya sambil coba-coba saja. Siapa tahu laku seperti saat berjualan di pameran. Kalau enggak laku atau rugi, ya kami sudah siap, namanya juga usaha. Maka, Februari 2005 kami pun resmi membuka kios pertama.
Warna merah, hitam, dan putih jadi ciri khas Oenpao. Jadi, tak sulit mencari Oenpao di tengah-tengah penjual daging, sayur, atau barang kelontong. Pasar buka pagi hari, kami pun mengikuti alurnya, buka jam 06.00 tutup jam 15.00 bersamaan saat pasar tutup.
Awalnya kami menjual bakpao, 2 jenis dimsum, bubur ayam, dan siomay. Sungguh di luar dugaan, ternyata pertama kali buka langsung ramai dan habis. Belum sampai jam 15.00, baru jam 09.00 makanan sudah tandas. Akhirnya, kami menambah stok karena aku tak mau mengecewakan pembeli yang sudah datang.
Yang melelahkan, karena mulai berjualan jam 06.00 berarti harus sudah siap-siap dulu sebelumnya, biasanya dimulai jam 02.00 kami sudah berbenah untuk jualan. Setelah 5 tahun dibuka, istriku tetap bangun pagi. Pekerjaan ini memang berat dan susah, tak segampang yang dibayangkan orang.
Kata orang, punya restoran itu enak. Memang enak, tapi jerih payahnya sama banyaknya dengan usaha yang dikeluarkan. Seminggu setelah buka kios, kami kelelahan hingga terpaksa kiosnya tutup. Aku, istri dan lainnya benar-benar dalam kondisi kewalahan. Mungkin karena kaget baru pertama kali buka, jadi semua terkapar.
Yang tak aku duga, reaksi pembeli luar biasa, banyak yang menelepon dan protes kenapa Oenpao tutup. Mereka sudah datang jauh-jauh, pagi-pagi pula, kenapa tutup? Sejak itulah kami enggak pernah tutup lagi hingga saat ini.
Penghasilan yang kami dapat waktu itu sekitar Rp 300 ribu per hari. Dalam waktu tiga bulan, aku membuka satu kios lagi dan menambah menu makanan Nasi Hainan, bebek dan ayam panggang. Lalu, bulan Juli buka satu kios lagi dengan menu tambahan berupa mi.
Sebenarnya, pertama kali membuka bisnis ini banyak yang menyepelekan aku. Kok, jauh-jauh kuliah di Jerman, hanya bekerja seperti ini. Tapi, aku enggak terlalu memikirkan itu karena aku senang melakukannya. Bukan masalah uangnya, tapi melihat orang datang, makan, lalu kenyang dan puas dengan makanan kami, itulah yang sangat aku sukai.
Melihat sukses Oenpao, pikiran kami mulai terstruktur. Yang tadinya hanya buat senang-senang, menjadi sesuatu yang lebih serius. Harus dilanjutkan dengan pengembangan lebih baik atau makanan apa yang ditambah, dan banyak lagi. Yang kami pikirkan adalah berusaha tidak ada masak-masak di Oenpao, tidak ada koki, pokoknya semua harus simpel.
Aku juga bekerjasama dengan para investor untuk mengembangkan Oenpao, meski pengelolaannya tetap ditangani sendiri. Artinya, tetap ada manajemen yang mengelola. Pada akhirnya memang memerlukan orang lain karena tak bisa dikerjakan sendiri lagi. Ibaratnya seperti punya bayi, harus diperhatikan hari demi hari dan telaten, baik dari sisi pelayanan maupun distribusi. Oenpao perlu orang yang ahli, bukan aku saja, tapi juga orang lain.
Modal awal yang aku keluarkan sekitar Rp 20 juta untuk sewa kios, beli panci, dan furnitur. Jika dulu harga bakpao masih Rp 6.800 isi tiga, sekarang Rp 12 ribu isi tiga. Bubur seharga Rp 3.500 sekarang menjadi Rp 12 ribu. Siapa yang membuat resep di Oenpao? Tentu saja resepnya tidak asli bikin sendiri karena makanan yang kami jual sudah ada ribuan tahun. Tapi pengembangan menu memang kami buat sendiri, terutama oleh istriku.
Di Oenpao tidak ada koki. Kokinya adalah istriku sendiri. Dialah yang menyiapkan bumbunya sampai bisa diaplikasikan di restoran. Setiap karyawan diajari sedemikian rupa sampai bisa menyajikan makanannya. Ibaratnya kalau orang mau makan nasi goreng Oenpao, tinggal beli bumbu di Oenpao, terus diolah di rumah.
Jadi, racikan bumbu dan pengembangannya dilaksanakan, dibuat, dan diaplikasikan istriku sendiri. Tentu saja dibantu karyawan lain saat pengolahannya saja.
Noverita K. Waldan
(Minggu depan: Dian menceritakan bagaimana ia bersama sang istri membangun Oenpao. Bukan berarti tanpa kendala. Tak lupa, Dian juga membagi tips untuk mereka yang ingin berbisnis dan mengungkapkan cita-citanya untuk memiliki 9 ribu restoran. Luar biasa!)
KOMENTAR