Siang itu, cerita Eu, ia dan kawannya, Idam, sedang menunggu makanan yang mereka pesan. Mereka dan sekitar 30 siswa kelas 3 lainnya duduk memenuhi kantin. Sambil menunggu, Eu dan Idam berjalan menuju bagian kantin yang biasa dipenuhi siswa kelas 1 untuk membeli minuman. Di situ ia melihat seorang siswi kelas 1 yang dari belakang tampak tak menggunakan kaus dalam. "Saya colek, dia menengok. Jadi, sebelumnya saya sama sekali enggak tahu dia siapa. Saya langsung minta dia ikut saya. Kami lalu jalan beriringan, sama sekali tidak ada unsur paksaan."
Eu membawa Vhia ke tempat ia semula duduk dan mulai menanyakan alasannya tak mengenakan kaus dalam. "Katanya, masih basah karena dicuci neneknya. Kontan murid-murid kelas 3 yang sedang makan di kantin tertawa," kata Eu. Mendengar jawaban itu, Eu mengingatkan Vhia untuk memberi jawaban yang lebih masuk akal dan bersikap lebih sopan terhadap senior. "Ar sudah ada di kantin. Enggak lama kemudian, Di datang dan ikut nimbrung."
Berhubung siswa-siswa kelas 3 yang ada di kantin semakin ribut, Eu minta Vhia segera meminta maaf. "Tapi dia tetap dengan sikapnya dan tidak minta maaf." Di tengah kejadian itu, kebetulan seorang guru, melihat ke arah mereka sejenak, dan langsung menuju tempat parkir. Suasana kantin makin panas. Eu menyuruh Vhia jongkok menghadap tembok.
Sambil bercanda Eu menyatakan ingin melempar Vhia dengan gelas. Teman Eu yang lain melarang. Eu kemudian kembali mengingatkan Vhia untuk menggunakan kaus dalam. "Vhia lalu tiba-tiba menangis histeris dan berteriak, dia lebih sayang sama neneknya ketimbang harus menuruti agit (sebutan untuk siswa kelas 3, Red.)."
Tak lama kemudian, guru lain lewat dan menghampiri. "Namanya Bu Dwi, tapi di BAP Vhia menyebut nama Bu Irma. Vhia juga menyebut nama Mirza sebagai salah satu saksi, padahal Mirza sedang ujian praktek dan tidak ada di kantin saat itu. Dari situ saja, sudah salah," tutur Eu. Guru tersebut hanya mengingatkan Eu dan kawan-kawan untuk lebih sayang pada yuniornya.
Yang jelas, Eu menyangkal adanya kekerasan fisik terhadap Vhia. "Enggak mungkin saya memukul, mencubit, atau menendang seperti yang ia laporkan. Di situ ada 30-an siswa dan pegawai-pegawai kantin. Saksinya banyak, kok!" tegas Eu. Lalu dari mana luka lebam pada tubuh Vhia itu berasal? Eu pun tak tahu. "Itu fitnah!"
"Kami semua masih kecil-kecil, apalagi kami sedang menghadapi ujian kelulusan. Saya berharap jangan sampai saya di-blacklist di universitas karena tersandung kasus ini," harapnya.
Sita Dewi
KOMENTAR