TENUN IKAT MADE IN LAMONGAN
Dari Timor Leste Hingga Timur Tengah
Kabupaten Lamongan tak hanya terkenal dengan makanan soto ayam dan tahu campur saja, tapi, di kota yang sebagian kawasannya berada di pesisir pantai Utara laut Jawa itu sejak dulu sudah tersohor lewat hasil kerajinan kain sarung tenun ikatnya. Di Desa Parengan, Kec. Maduran, Lamongan, kain sarung tenun ikat bukanlah benda asing. Sebab desa ini merupakan sentra indutri sarung tenun ikat di wilayah Kabupaten Lamongan.
"Di sini, sedikitnya ada 31 orang pengrajin. Itu belum termasuk pengrajin-pengrajin kecil lainnya," kata Asrofi (56) yang sudah 40 tahun lebih bekerja sebagai perajin.
Menurut Asrofi, keberadaan perajin tenun ikat di desanya sudah ada sejak tahun 1932, yang dipelopori oleh H. Abdul Wahab. Terus berkembang, saat ini sarung tenun ikat produksi Parengan justru lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan ekspor, mulai dari Timor Leste Timur hingga kawasan Tengah seperti Yaman, Qatar, Abu Dhabi, Arab Saudi dan sekitarnya.
Motif khas songket Parengan menurut Fahmi, ada sekitar 25 macam di antaranya adalah motif Palm, Timbul Bungkus, Timbul Gunung, dan Pagi Sore. Bahkan, di samping itu ada yang lebih istimewa lagi yaitu tenun ikat dengan hiasan songket.
Songket dengan hiasan timbul di lembaran kain tenun itu terlihat istimewa. Wajar saja, mengingat untuk membuat satu helai kain tenun dengan motif songket, bisa dikerjakan oleh pengrajin khusus dalam waktu yang lebih panjang.
Untuk membuat satu helai tenun ikat songket dibutuhkan waktu tiga hari. Padahal, jangka waktu itu jika untuk membuat sarung tenun ikat biasa, sudah bisa menghasilkan 5-6 helai. "Tak heran, bila harganya jauh lebih mahal. Satu helainya bisa mencapai Rp500 ribu, tapi bila sudah masuk toko, bisa jauh di atas itu" kata Fahmi.
Uniknya, sarung produksi tempatnya tak hanya menyasar pasar Timur Tengah saja, tapi juga sebagian menyuplai ke Timor Leste. Kain ikat produksinya dijadikan sebagai pakaian adat warga di negara tetangga itu.
Gandhi Wasono/bersambung
KOMENTAR