"Ya! Saya keberatan!" ujar Rusmini lantang menjawab pertanyaan hakim usai pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum, Rabu (17/3) lalu. Hari itu, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur mengadili dua orang nenek yang hampir berusia 80 tahun dengan tuduhan menempati rumah yang bukan haknya lagi. Agenda sidang pertama itu adalah pembacaan dakwaan.
Rusmini dan Soetarti, harus berjalan perlahan sambil dipapah untuk berjalan menuju lantai dua, di mana ruang sidang berada. "Saya sampai hampir pingsan dikerumuni banyak wartawan," kata Soetarti. Wanita beranak 5 itu juga tak henti-henti mengeluarkan air mata saat mengomentari kasus yang menimpanya.
Almarhum suami mereka merupakan mantan anggota Tentara Pelajar Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Setelah Tentara Pelajar dibubarkan, kedua suami mereka bekerja untuk Perusahaan Jawatan (Perjan) Pegadaian (sekarang Perum Pegadaian, Red.) hingga pensiun tahun 1985 dan 1987.
Jaksa mendakwa Soetarti dan Rusmini telah menempati rumah orang lain secara melawan hukum seperti yang diatur dalam UU No. 4 tahun 1992. Selain itu, mereka juga dituduh telah memasuki rumah atau halaman orang lain dan tidak segera meninggalkan tempat itu atas permintaan orang yang berhak seperti diatur dalam pasal 167 KUHP. Jaksa menilai, rumah dinas itu merupakan fasilitas untuk suami mereka yang telah lama pensiun, sementara mereka hanya berstatus istri pegawai. Jika terbukti bersalah, keduanya terancam hukuman hingga 2 tahun penjara.
Permohonan Ditolak
Upaya mengajukan permohonan pembelian rumah pun dilakukan. Pada 1988, setahun setelah Soekarno pensiun, keluarga mereka mulai mengajukan permohonan pembelian rumah, namun tak mendapat tanggapan. "Tahun 1996, 2005, 2007, dan 2008 pun, kami ajukan lagi, tapi beberapa kali ditolak dan sekarang sedang menunggu putusan kasasi dari Mahkamah Agung (MA)," terang Sambodo Agung Nugroho (45), putra Soetarti yang juga tinggal di rumah seluas 238 m² itu.
Di masa penantian keputusan MA, yang datang justru surat panggilan sidang dari PN Jakarta Timur. "Surat datang pada 7 Maret sore untuk sidang besok paginya, tanpa disertai surat dakwaan. Karena surat panggilan datang kurang dari 24 jam dan kami belum siap dengan kuasa hukum, kami minta jadwal sidang diundur, dan dikabulkan," lanjut Agung.
Surat itu menyebutkan, Direktur Umum Perum Pegadaian, Sumanto Hadi, melalui kuasa hukumnya, Guladi Aksiono, melaporkan Soetarti sudah beberapa kali diberi peringatan untuk segera mengosongkan rumah, namun Soetarti tidak kunjung pergi. Jaksa Penuntut Umum kemudian menggunakan peraturan direksi Perum Pegadaian yang antara lain menyatakan, rumah jabatan Perum Pegadaian adalah rumah untuk kepentingan pejabat yang masih aktif, dan untuk menempati rumah itu dibutuhkan surat perjanjian bermaterai.
Agung juga curiga, ada rekayasa dibalik dakwaan terhadap ibunya. "Kalau memang ibu saya dituduh memasuki rumah yang bukan haknya, kalau begitu seharusnya saya dan dua cucu ibu saya yang tinggal di rumah ini kena juga, dong? Tapi kenapa hanya ibu saya yang dipanggil?"
Menghadapi perselisihan dengan pihak mantan kantor suaminya, Soetarti hanya bisa pasrah, meski berat. "Di rumah ini saya menikahkan anak, anak saya juga melahirkan di sini. Kebanjiran, atap bocor, semua kami alami bersama. Bapak pun meninggal di rumah ini, makanya berat untuk meninggalkannya," kenang Soetarti sambil tersedu.
Namun, Soetarti menyatakan siap meninggalkan rumah itu jika Perum Pegadaian bisa membuktikan PP No. 40 Tahun 1994 itu tak berlaku. "Saya hanya berharap untuk diadili seadil-adilnya, supaya bapak hakim punya hati nurani dan saya bisa bebas murni," harap Soetarti.
Sita Dewi / bersambung
KOMENTAR