Di sela kegiatan jurnalistiknya, Pepih menyempatkan diri untuk berburu papan catur dari berbagai daerah. Caranya, dengan banyak bertanya kepada warga setempat. Ia pernah mendapatkan papan catur unik dari Nusa Tenggara Barat (NTB) yang berbahan kayu dengan sekelilingnya ditempeli kerang. Ada lagi catur dari Palu yang terbuat dari kayu hitam. Bahkan, tak jarang ia khusus memesan papan catur lengkap dengan bidaknya untuk mendapatkan koleksi yang unik.
"Saya memesan papan catur berupa meja marmer bundar di Solo. Fungsinya bisa untuk main catur, bisa juga berfungsi sebagai meja biasa. Nah, kotak-kotak petak catur ini dibuat menyatu dengan marmer. Harganya jutaan rupiah," kata Pepih. Pernah pula ia memesan catur berwujud suku Asmat dari perajin di Klaten. Bahannya terbuat dari besi. Bentuk bidak caturnya berupa replika warga Asmat lengkap dengan tombaknya. Raja didesain seperti kepala suku. "Perajinnya butuh waktu beberapa bulan untuk menyelesaikannya," kata bapak dua anak yang berasal dari Tasikmalaya ini.
Ada lagi catur tokoh film kartun Bart Simpson, catur warna-warni, catur berpapan bundar, catur mini berukuran sekitar 6 x 6 cm. Catur mini ini, "Sebenarnya chess pen, sebuah bolpoin yang dimodifikasi papan catur yang bisa dilipat. Catur ini hadiah dari seorang teman," kata Pepih.
Pepih mengaku, ketika bertugas ke luar negeri, bila ada waktu, ia akan menyempatkan diri mencari papan catur khas negara itu. Maka, di lemari yang khusus menyimpan sekitar 40-an koleksi caturnya, terdapat catur dari berbagai negara. Misalnya saja dari Hongkong, Cina, Rumania, Belanda, India, dan Prancis. Meski demikian, Pepih mengaku tak mau ngoyo. Artinya, koleksi itu didapat sesuai dengan kantongnya.
"Makanya ketika tugas di Rusia, saya tak membeli catur setempat. Harganya mahal sekali untuk ukuran dompet saya. Di berbagai negara, harga catur memang mahal, apalagi yang dijual di toko kerajinan. Jadi, saya cukup mengagumi. Dulu, di tahun 90-an saat awal mengoleksi catur, saya pernah melihat catur blangkon di Malioboro. Harganya saat itu Rp 350 ribu. Karena uangnya enggak cukup, saya enggak beli. Sialnya, sekarang catur blangkon tidak saya temukan lagi," jelas Pepih.
Menurut Pepih, ia tetap akan terus memburu papan catur sepanjang dananya cukup. Baginya, papan catur memang memberi keindahan tersendiri. Itu sebabnya, hampir setiap ada kesempatan, Pepih memandangi koleksinya yang terpajang rapi di lemari khusus. "Catur-catur itu sarat dengan nilai seni," katanya.
Henry Ismono
KOMENTAR