Cerita Para Pencinta Batik (1)

Yayasan Batik Indonesia (YBI) adalah yayasan yang sangat memerhatikan perkembangan batik di Indonesia. YBI didirikan pada 28 Oktober 1994, yang diprakarsai oleh para pemerhati dan pecinta batik Indonesia. Tujuannya tidak lain adalah untuk melestarikan budaya dan mengembangkan batik di seluruh Nusantara. Di awal berdirinya, YBI mulai mencoba memamerkan karya desainer yang mempergunakan batik di atas kain berbahan wol. "Waktu itu, saya sebagai Ketua IPMI (Ikatan Perancang Mode Indonesia, Red.) mengatakan, segala kerajinan di negara kita harus mendapat sentuhan dari desainer Indonesia sendiri, baru bisa naik. Pedagang kecil, kan, kalau bikin ya begitu saja, tidak bisa masuk ke media. Sementara desainer ketika bikin baju lalu difoto, bisa masuk ke majalah," kata Dipl. Des. Sjamsidar Isa, Dewan Pengurus YBI.

Saat ini, lanjut wanita yang akrab dipanggil Mbak Tjammy ini, pemakai batik sudah berkembang dengan baik. "Batik pernah turun dan naik lagi. Sekarang ini busana batik buat anak-anak muda terlihat lebih lifestyle. Batik tidak hanya dipergunakan untuk pakaian adat saja, tapi sudah bisa dipakai karyawan kantoran. Tentu saja yang diharapkan adalah anak-anak muda tersebut mau memakai batik bukan karena keterpaksaan tapi memang karena senang batik."

YBI tidak memiliki anggota tapi para pengurus yang terdiri dari ibu-ibu atau bapak pencinta dan kolektor batik, seperti Bapak Santosa Danar Hadi atau Komar dari Bandung. Pelan-pelan pengurusnya diambil dari generasi muda dipadu dengan yang sudah lama, agar yang muda paham tentang batik. Berbagai kegiatan dilakukan YBI antara lain melakukan pameran Gelar Batik Nusantara tiap dua tahun sekali. Bahkan sampai membuat buku.

Yang kini menjadi problem adalah bagaimana kelanjutan dari pemakai dan pembuat batik. "Apakah anak-anak muda ada yang masih mau membatik? Rata-rata, kan, mereka lebih senang memilih kerja di pabrik dibanding membatik. Bandingkan dengan di Jepang, orang di sana bangga bisa membuat kimono sendiri."

Tapi, pengrajin harus jujur dan jangan menipu konsumen. "Kalau yang dijual batik printing, ya, bilang itu memang printing. Jangan sebaliknya printing dibilang cap agar dapat untung lebih banyak. Pelan-pelan konsumen makin pintar dan lebih kritis, lho. Jangan khawatir, setiap produk pasti ada segmennya masing-masing."

Komisaris Utama di Studio One ini menemukan banyak pedagang yang tidak jujur. "Kadang saya suka marah, lalu saya tunjukkan pada mereka ketidakjujuran tersebut. Ambil saja benangnya dan bakar, kalau batik asli berdebu, kalau batik yang sudah kena kimia, bau asapnya lebih asam. Jangan salah, lho, pedagang di pameran pun ada yang tidak jujur. Makanya mereka harus diberi pendidikan, pelan-pelan dikasih tahu pentingnya mencintai produk sendiri. Kadang, kan, konsumennya enggak ngerti mau saja membeli batik karena harganya mahal."

Rencananya, di tahun 2010 ini YBI akan melakukan Batik Summit yaitu mengundang pakar-pakar dari luar negeri. "Rencana ini memang sempat ditunda 2 kali karena susah mencari sponsor. Kalaupun acara ini tidak jadi, pasti ada kegiatan lain. Misalnya tahun lalu, membuat acara pameran batik Ibu Obama. Pokoknya, batik, kan, lagi naik, tinggal bagaimana membuatnya menjadi menarik." Yang menarik," Di sekolah di Jawa Tengah pelajaran membatik sudah menjadi kegiatan ekstrakulikuler. Kegiatan tersebut, kan, lama-lama bisa menumbuhkan kecintaan akan batik."

Hasuna Daylailatu, Noverita K. Waldan

PROMOTED CONTENT