Awalnya, saya sempat "tersinggung" dengan bantuan dana itu. Bayangkan saja, selama ini saya punya persepsi yang salah tentang "tangan di bawah". Jadi, ketika dalam kondisi sakit, saya menjadi orang yang posisinya "tangan di bawah". Ah, betapa malunya. Saya terbiasa memberi. Kalaupun saya mau menerima uang, hanya bila dibarter dengan karya atau diundang menjadi pembicara. Jadi, saya tidak menerima uang begitu saja.
Melihat keberatan saya menerima uang sumbangan, teman-teman mengingatkan, "Ada kalanya kita ini berada di atas, ada kalanya pula di bawah. Bila kamu sembuh, masih banyak kebaikan yang bisa kamu berikan pada orang lain." Okelah! Sumbangan itu pun saya terima dengan ikhlas.
Ternyata sumbangan itu banyak manfaatnya. Pengobatan saya menelan banyak biaya. Paling tidak, saya sudah habis Rp 70 juta. Mei 2008 saya putuskan menghentikan pengobatan, pulang, dan mencari tabib Cina yang bisa melakukan terapi prana cikung. Menu yang biasanya saya konsumsi di klinik, saya teruskan di rumah.
Berkat pertolongan Tuhan, di Cilegon saya bertemu dokter, Bagus Jamaludin, yang mendalami prana cikung. Sampai sekarang, seminggu sekali saya masih dalam perawatan dokter Bagus. Saya juga rajin olahraga dan minum obat herbal. Dokter Bagus menyembuhkan berlandaskan ibadah. Pasien membayar seikhlasnya. Tapi obat herbal memang harus dibeli. Uniknya, bila si pasien punya uang kembalian tapi tak mau menerima, akan disedekahkan ke pesantren milik dokter itu.
Terapi Renang
Desember silam, saat saya sedang banyak masalah, penyakit itu kambuh lagi. Saya kembali konsultasi ke Holistik di samping menjalankan terapi berenang di kolam air panas di kawasan Cipanas. Jaraknya kira-kira 70 Km dari rumah. Saya sewa kamar di sana dari Senin hingga Kamis. Renang bisa memaksimalkan usaha penyembuhan karena gerakannya bagus buat tulang. Berkat berenang di air panas pula, rasa nyeri seperti disilet berkurang.
Rupanya setelah rutin berenang, masalah baru malah timbul. Saya lupa, tak boleh berenang karena gendang telinga saya bolong akibat ketika SD sering mengalami tabrakan. Saya juga keseringan menyelam di laut. Akibatnya, ketika berenang, air masuk ke telinga dan harus dibawa ke dokter untuk disedot. Saya pasrah. Semua ini memang proses yang harus saya jalani.
Saat sakit, saya justru merasa sehat. Itulah kunci saya mengurangi rasa sakit. Memang, setiap orang akan mati, tapi saya terus berikhtiar. Sebab, saya sendiri tidak tahu penyebab penyakit ini. Hanya menduga-duga. Mungkin juga karena dulu saya suka naik gunung, membawa beban yang berat sehingga ada tulang punggung yang bergeser. Lalu, ketika kerja kantoran tahun 1996, saya berhenti berolahraga, banyak duduk dan berada di ruang AC. Saat teman lain istirahat atau makan siang, saya masih mengerjakan tugas. Sepulang dari kantor pun, saya masih kerja bikin novel.
Jadi? Yah, mungkin penyebabnya berakumulasi dari semua aktivitas saya di masa muda dulu. Agar rasa sakit tidak datang terlalu sering, saya sudah tidak mengonsumsi makanan bersantan dan daging, kecuali daging ayam.
Rini Sulistyati/bersambung
KOMENTAR