Kelahiranku 19 Januari 1983, membuat orangtuku, Vera Wibowo- dr Loekito Siswoyo, luar biasa bahagia. Sayang, setahun berikutnya, aku mulai sakit-sakitan. Kebahagiaan pun berganti dengan duka mendalam ketika dokter menyatakan ada sel kanker di mataku. Ketahuannya pun begitu kebetulan. Saat pesta HUT pertamaku, listrik tiba-tiba padam. Namun Papa tak kehilangan akal, ia lalu menyalakan petromak dan pesta pun berlanjut. Dalam remang-remang kami tertawa, bermain, dan berfoto ria. Beberapa minggu kemudian, ketika mengamati hasil cetakan foto, Papaku menemukan keanehan.
Di foto-foto itu, dengan latar belakang suasana gelap karena listrik padam, mata kiriku bersinar seperti mata kucing (istilah kedokterannya leukoria). Sebagai seorang dokter ia berpikir, hal itu tidaklah lazim. Akupun segera dibawa ke dokter spesialis mata di Semarang. Sejak itulah, kebahagiaan kami seakan ikut padam. Kata dokter, aku mataku terkena kanker retina (retinoblastoma).
Agar sel kanker itu tak menyebar, aku segera dirujuk ke RS Aini Jakarta untuk operasi mata kiri. Kebetulan, di saat yang sama, Mama tengah mengandung adikku. Ia sangat syok sampai mengalami pendarahan hebat. Untunglah adikku selamat. Operasiku juga berlangsung lancar. Meski sebelah mataku buta, aku dinyatakan terbebas dari kanker.
Aku tumbuh sebagai anak aktif. Berbagai kegiatan kuikuti, seperti les tari, musik, dan peragaan busana. Ini memang upaya Mama agar aku tak kecil hati karena memiliki satu mata. Namun semakin besar, ketika teman-teman mulai mengejek kondisi mataku, aku mulai minder. Tapi Mama tak pernah lelah menghiburku. Ia berkata, "Orang bisa sukses karena kesehatan, kekayaan, dan kelebihannya, itu biasa. Nah, kalau kamu bisa sukses dengan kesederhanaan dan kekuranganmu, itu baru luar biasa."
Jujur, hidup dengan satu mata sangat melelahkan. Selain sering diejek, aku pun kerap mendapat kesulitan belajar. Aku jadi gampang sekali capek. Di usiaku yang masih sangat labil itu jugalah, tidak jarang aku melemparkan kemarahanku kepada Tuhan. Namun di sisi lain, aku juga enggak tahu apa enaknya memiliki dua buah mata.
Waktu berlalu. Cinta Papa dan Mama terus menguatkan dan mendukungku. Aku yang saat itu sudah berusia 16 tahun, sudah bisa menerima diriku seutuhnya. Dengan berani, kurencanakan masa depanku dan dengan mantap kukatakan pada orangtuaku kalau aku ingin menjadi dokter. Apakah orangtuaku bangga? Tentu saja!
Apa daya, suatu hari di bulan Juli 1999, aku terjatuh. Waktu itu aku sedang mencoba mengambil sesuatu di atas lemari kamarku. Saat melompat dari kursi yang kunaiki, kaki kiriku terpeleset dan terkilir. Hingga beberapa hari bengkak di mata kaki kiriku tak kunjung kempis meski sudah diurut. Kondisi ini berlangsung setahun dan kubiarkan. Kupikir, ini wajar saja terjadi pada kaki yang terkilir. Untuk membantu mengurangi rasa sakitnya, aku minum obat penghilang rasa sakit.
Hingga suatu saat, obat penahan rasa sakit itu tak lagi mempan meredam nyeri tubuhku. Kulit kakiku pun semakin hari makin membiru dan terasa panas. Saat itu barulah aku memeriksakannya ke rumah sakit di Semarang. Lagi-lagi aku harus terpuruk mendengar vonis dokter. Katanya, di kakiku terdapat sel kanker Limfoma Non Hodgkins stadium 3. Agar hasil diagnosanya lebih akurat, aku disarankan periksa ke National Cancer Centre di Singapore General Hospital.
Hasilnya malah lebih parah. Setelah satu bulan menjalani pemeriksaan di sana, dokter yakin, aku menderita Primitive Neuroectoderma Tumour atau sering disebut PNET stadium 3 (sejenis kanker langka). Jenis kankerku yang kedua ini, katanya, memang tidak lazim mengikuti jenis kanker yang pertama. Sejak itu, hari-hariku dilalui dengan berbagai pemeriksaan seperti MRI, CT-scan, Bone scan, BMP, dan X-Ray. Helai demi helai rambutku rontok. Tubuhku sakit (mual, muntah, sariawan, pusing, badan rasa terbakar). Kesedihanku luar biasa dalam. Aku marah kepada Tuhan. Selama 16 tahun ini aku, kan, selalu berbuat baik dan berdoa, tapi mengapa Ia justru memberiku hidup seperti ini?
Ester Sondang/ bersambung
KOMENTAR