Bosan menganggur selama tiga bulan setelah perusahaan media tempatnya bekerja sebagai wartawan tutup, Wilas Ary P (29) mencoba melirik bisnis kaus anak. Kebetulan, TK tempat Gendis, anak sulungnya bersekolah, mengadakan bazar selama seminggu, dan Ary berniat menjual sesuatu di acara itu. Meski baru mulai belajar berbisnis, Ary tak mau main-main. Ia nekat meminjam uang Rp 10 juta sebagai modal awal, yang menghasilkan 200 buah kaus anak.
Tepat 16 Februari 2008 di bazar sekolah, Ary pertama kali menjual kausnya. Lare-lare sendiri berarti anak-anak dalam Bahasa Indonesia. Ternyata, kaus yang kata-katanya dibuat sendiri oleh Ary itu banyak disukai pembeli. Di luar dugaan, Ary mendapat tawaran dari pihak manajemen sebuah mal baru di Solo yang kebetulan mengunjungi bazar itu, untuk membuka outlet di di sana.
Selain itu, Ary juga menjual kausnya lewat online di http://larelare-solo.blogspot.com. Untuk lebih menarik minat pembeli, Ary memperbolehkan mereka memesan kaus sesuai ukuran, warna dan desain yang diinginkan. Misalnya, menambahkan nama anak. Lama-kelamaan, menurut Ary, hal inilah yang jadi kelebihan lare-lare dibanding bisnis kaus sejenis, bahkan sampai sekarang.
Sejak saat itu lare-lare terus berkembang. Orang Jakarta yang pulang kampung ke Solo untuk berlebaran, misalnya, mulai mencari outlet lare-lare. Mencari ide tulisan yang akan dimunculkan adalah tugas Ary. Sedangkan sang suami, M. Tohari C (35) yang beralih profesi dari fotografer di Jakarta menjadi dosen di ISI Solo ini, bertugas mendesain. Ide membuat kalimat didapat Ary dari pengalamannya mengasuh kedua anaknya, dari milis tentang pengasuhan anak yang ia ikuti selama ini, dan dari pengalamannya bertahun-tahun menulis artikel seputar pengasuhan anak (parenting) selama menjadi wartawan. "Saya tidak mau membuat kaus yang asal nyeleneh. Kausnya harus membuat anak nyaman sekaligus ada nilai tambah untuk pembeli lare-lare," ujarnya.
Karena memberikan ASI pada kedua anaknya, misalnya, Ary yang kerap ikut pameran ini antara rajin "memprovokasi" para ibu yang baru melahirkan untuk memberikan ASI pada bayinya antara lain lewat kalimat-kalimat di kaus. Misalnya, kalimat 'Asiholic pecandu berat air susu ibu', 'Sudah lulus S2 minum ASI sampai umur 2 tahun', dan sebagainya. Ada pula kalimat 'Peserta matakuliah toilet training', yang didapat Ary ketika ingin mengajari anaknya ke toilet agar tidak mengompol lagi.
Kini, dengan sistem keagenan maupun pesan langsung, lare-lare tersebar di Aceh, Sulawesi, NTB, Jogja, Surabaya, Jakarta, Bandung, Madura, bahkan Papua dan Malaysia. Dalam waktu dekat, kaus yang kini diproduksi 100 buah per hari ini juga akan merambah Bali. Tak sedikit pembeli yang mengoleksi dan menunggu desain baru. Kini, selain menjual kaus anak usia 0-10 tahun dengan harga mulai Rp 40-45 ribu, Ary yang punya 70 desain juga membuat celemek menyusui seharga Rp 55 ribu, dan gendongan bayi. Sementara, kaus hamil dan kaus menyusui dibandrol Rp 75-85 ribu, dan kaus dewasa Rp 47,5-55 ribu.
Hasuna Daylailatu, Yetta Angelina
KOMENTAR