Sosok Sinar (7) tidak berbeda jauh dengan anak desa pada umumnya. Gadis bertubuh kecil dengan potongan rambut pendek itu terlihat polos, ceria, lincah, dan terus mengumbar senyum. Namun di balik kesederhaan dan kepolosan, anak keempat dari enam bersaudara kelas 1 SD 004 Riso itu menyimpan kisah hidup yang sangat luar biasa. Di usianya yang masih belia, ia harus berjuang sendirian merawat ibunya yang mengalami kelumpuhan akibat kekerasan yang dilakukan ayahnya.
Untuk bisa mencapai rumah Sinar di Dusun Tondo Patah, bukan hal mudah. Jaraknya sekitar 35 km dari kota kabupaten dan berada di tengah perkebunan kakao. Sisa perjalanan sepanjang 4 km menjelang rumah Sinar, luas jalan tidak lebih dari tiga jengkal dan sangat licin jika musim penghujan seperti saat ini. Untuk mencapai ke sana, hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau naik motor dengan jalan naik-turun yang melewati dua bukit dan tiga anak sungai yang berair jernih.
Sinar dan ibunya, Murni, menempati rumah panggung yang berjarak sekitar 200 meter dari rumah warga lainnya. Suara gemercik air sungai yang melintas di sebelahnya, terdengar sebagai pemecah kesunyian. Rumah itu terbuat dari papan yang disekat menjadi dua kamar dan amat sederhana. Hanya tergelar kasur busa tipis yang sudah kumal sebagai alas tidur. Di situ pula Murni menghabiskan hari-harinya karena tak bisa berjalan. "Setiap hari Sinar yang bersih-bersih rumah," kata perempuan berusia 32 tahun itu.
Jatuh Lalu Lumpuh
Bagi Murni, Sinar adalah segala-galanya. Pada Sinar pula hidupnya bergantung. "Dia adalah permata hati," kata Murni yang dulunya menjadi buruh di sawah atau kebun kakao. Sejak dua tahun silam, semuanya berubah. Suatu hari, kisahnya, ia minta uang belanja pada Anwar, suaminya. Bukan uang yang diberi, operator mesin pembajak sawah itu mengambil golok dan hendak menyembelih Murni. Kontan Murni lari tunggang langgang dan melompat dari ketinggian sekitar 5 meter. Ia pun terjerembab ke tanah. "Waktu jatuh saya sudah tidak ingat apa-apa lagi. Saya baru sadar beberapa saat setelah dikerumuni banyak orang," cerita Murni.
Setelah jatuh dari ketinggian itu, sekujur tubuh Murni, terutama pinggang ke bawah, bengkak dan tidak bisa digerakkan. Sejak itu Murni harus dibantu anak-anaknya. "Karena mengalami kelumpuhan, saya tak bisa mengurus si bungsu yang baru berusia setahun," katanya. Bahkan, beberapa saat kemudian, tak hanya kedua kakinya saja yang makin mengecil, tangannya juga ikut kaku dan tak bisa digerakkan. "Sebenarnya ingin berobat ke rumah sakit tapi kami tidak pernah punya uang. Jadi, ya, pasrah saja dengan keadaan seperti ini," ujar Murni.
Yang membuatnya pedih, setelah cacat Anwar seperti tidak pernah puas menyakiti batinnya. Beberapa kali Anwar datang ke rumah dengan membawa perempuan simpanannya. "Kalau sebelum-sebelumnya tubuh saya sering dipukuli di depan ibu dan anak-anak saya, setelah cacat dia justru menyakiti bathin saya," tuturnya. Selain berperangai kasar, lanjut Murni, suaminya sangat suka berjudi dan mabuk-mabukan.
Ternyata kekejaman Anwar belum juga berakhir. Sekitar setahun lalu, ia tiba-tiba pamit akan merantau ke Malaysia, menjadi TKI. Meski sudah ditahan-tahan agar tak pergi mengingat anak-anak tak ada yang mengurus dan menafkahi, Anwar tetap pergi. "Sejak itu, kami hidup dari belas kasihan tetangga dan kerabat," urai Murni.
Gandhi Wasono/ bersambung
KOMENTAR