Dari Penadah Ke Curanmor
Setamat SMP, Imam dikirim ke Ponpes Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, sekaligus merangkap SMA. Rupanya Imam belum sadar juga. Ia tak pernah mengikuti aturan pondok dan memilih keluar. "Akhirnya saya dipindah ke SMA di Surabaya."
Kapokkah Imam? "Kenakalan saya malah makin jadi. Saya mulai kenal minuman keras dan narkoba. Karena jago silat, saya jadi cukup disegani di kalangan preman di kawasan terminal Wonokromo, tempat mangkal saya," kisahnya.
Begitulah, setamat SMA Imam diberi beban orangtua untuk membantu biaya sekolah adik-adiknya yang masih kecil. Di sanalah kenakalannya semakin merajalela. Kejahatan sudah dijadikan sebagai lahan untuk hidup. Salah satunya, sebagai tukang tadah HP curian di kawasan Terminal Wonokromo. "Semua copet HP di terminal kalau menjual hasil copetan, pasti ke saya," kata Imam yang sempat menjadi makelar HP di kawasan WTC Surabaya.
Ia masih ingat, saat "pasar" ramai, dalam sehari bisa dapat keuntungannya Rp 3 juta! "Uangnya untuk membantu orangtua sekaligus menyekolahkan adik-adik. Mereka tidak tahu dari mana asal uang itu. Saya memang menutup diri dengan lingkungan dan hanya mau beraksi di luar," tuturnya.
Berikutnya, Imam "naik kelas". Tak cuma jadi penadah HP curian, tapi juga jadi pelaku curanmor atau kejahatan dan kekerasan di berbagai tempat di Surabaya dan luar kota. "Mungkin Tuhan masih sayang saya sehingga saya sama sekali tak pernah tertangkap tangan. Sebenarnya pernah sempat tertangkap razia polisi ketika habis mencuri motor di Sidoarjo, tapi petugasnya berhasil saya kelabui. Saya dilepas dan motor curiannya diangkut karena saya pura-pura jadi mahasiswa Unair," kisah Imam sambil tertawa geli.
Kendati banyak uang dan disegani, lanjutnya, "Di dalam hati saya terjadi pergolakan batin. Saya membayangkan, bagaimana sedih dan menderitanya orang-orang yang barang-barangnya saya curi. Jadi, kalau habis berbuat jahat, ada rasa penyesalan mendalam karena perbuatan saya membuat susah orang lain."
Curi Ilmu
Dari pergulatan batin yang panjang, akhirnya ia memutuskan meninggalkan dunia hitam. Keputusan itu memang tidak mudah, mengingat ia tak punya penghasilan selain dari aksi kejahatan. "Saya lalu mengasingkan diri ke Desa Tulungrejo, Kediri, yang terkenal dengan istilah Kampung Inggris karena di sana banyak tempat kursus bahasa Inggris. Tujuan saya, selain belajar, juga menemui teman saya, yang memang tengah belajar di sana," ujarnya.
Di situ, ia belajar di sebuah tempat kursus. Tapi, "Jangankan bicara Inggris, mengeja ucapannya saja, enggak bisa. Di antara 400 siswa, saya yang paling bodoh," ujarnya diiringi tawa. Waktu itu, lanjutnya, ia tertarik belajar karena gurunya menjanjikan, kelak akan diberi kesempatan training di hotel berbintang di Surabaya sebagai batu loncatan untuk bekerja di kapal pesiar dan bisa keliling dunia. "Pikir saya, kalau bisa kerja di kapal pesiar, kan, asyik. Gajinya saja bisa Rp 10 juta per bulan." Apa mau dikata, meski sudah belajar setengah tahun, Imam tetap saja tak bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris, padahal teman-temannya sudah training di berbagai hotel berbintang di Surabaya.
(Bersambung)
Gandhi Wasono M.
Foto-Foto: Gandhi/NOVA
KOMENTAR