Apa yang tidak dipikirkan orang, itulah yang dilakukan Riany Linardi (30). Dengan tangannya, mantan chef beberapa hotel dan restoran ini berhasil meramu seragam para juru masak yang identik dengan warna putih menjadi lebih berwarna. Keberhasilan ini tentu saja menjadikan 'La Cuisine', usaha seragamnya, untung besar. "Selama menjadi chef, seragam yang saya pakai selalu berwarna putih. Hingga kemudian terbesit oleh saya untuk membuat seragam yang penuh warna dan juga dilengkapi dengan desain yang lebih fashionable," ujar Riany Linardi, lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung jurusan Food Production (1998-2001) ini.
Inspirasi untuk melakukan perubahan itu datang di tahun 2002 saat ia dan seorang temannya, Chef TJ, menjalankan usaha Clinic Recipes (produsen seragam chef). Di tempat itu ia belajar banyak tentang warna, bahan, detail, juga desain yang baik untuk seragam chef. "Namun karena saat itu saya masih bekerja sebagai chef di sebuah hotel, saya tidak serius menjalankan usaha ini. Barulah di tahun 2004 saya mulai mengambil komitmen untuk serius di usaha yang sama dengan nama La Cuisine," jelas wanita kelahiran Bandung, 20 Februari 1979 ini. Saking seriusnya, tidak lupa puteri dari Arie Djohan Linardi dan Yati S Kusuma mendaftarkan brand usahanya ke Hak Atas Kekayaan intelektual (HAKI).
Dari Singapura Hingga Amerika
Karena memang tidak memiliki pengalaman dalam mendesain pakaian, Riany tidak punya konsep khusus harus seperti apa seragam chef-nya dibuat. "Di awal, saya mendesain beberapa baju chef dengan model nyeleneh. Eh, enggak tahunya, banyak yang suka." Riany memang punya banyak teman dan kenalan di asosiasi chef profesional, katering, hotel, restoran, dan café. Jadi tidak sulit baginya untuk mensosialisasikan La Cuisine ke pasaran. "Dari link pertemanan itu, kemudian saya mulai memakai brosur, katalog, situs pertemanan, hingga akhirnya membuat situs sendiri, www.lacuisineuniform.com ."
Tentu saja, dengan semakin luasnya media yang digunakan semakin luas juga konsumen yang didapatnya. Sejak itu pesanan dari Amerika Serikat, Canada, Singapura, dan Australia mulai berdatangan. "Order yang datang dari luar bidang kuliner juga banyak, kok. Seperti saat ini, saya sedang menangani pesanan 8 ribu stel seragam untuk Freeport, 1500 stel seragam untuk Breadtalk , J.Co, dan Johnny Andrean. Sedang sisanya, pesanan dari hotel seperti Imperial Aryaduta, Le Grandeur, Imperial Club Golf, dll."
Wanita yang sudah menciptakan sekitar 300 desain pakaian chef ini mengaku tidak pernah menetapkan minimum kuantitas pesanan. Alasannya, "Saya memulai usaha ini dengan orderan satu buah baju chef hingga kemudian bisa menjadi banyak seperti sekarang ini. Karena itu, order satu buah pun akan saya layani."
Jakarta-Bandung
Bisa dibilang, seragam mencerminkan karakter dari sebuah bidang usaha yang digeluti. Makanya, selain memberikan jasa pembuatan seragam, Riany juga membuka jasa konsultasi kepada kliennya. Hal ini, katanya, sangat ampuh untuk mengetahui hal-hal yang diinginkan kedua belah pihak. "Saya biasa membagi ilmu dengan para klien mengenai persyaratan pakaian chef itu harus bagaimana, filosofinya seperti apa, model dan bentuknya, bahan yang digunakan, dll. Ternyata banyak dari mereka yang tidak mengerti, lo."
Hal ini cukup dimengerti, mengingat fungsi dari pakaian chef berbeda dengan yang kita pakai sehari-hari. "Kalau soal desain, sih, seringnya klien yang minta desain dari kami."
Karena sebagian kegiatan produksi La Cuisine masih dilakukan di Bandung, mau tidak mau ia harus bolak-balik Jakarta-Bandung. "Memang konsumen saya banyak berasal dari Jabodetabek dan Jabar. Namun, karena biaya operasional di Bandung lebih kecil dibandingkan Jakarta, saya memutuskan membagi tempat produksi di dua wilayah itu. Saya membuat aturan, untuk produksi 1-1000 buah saya produksi di Jakarta, tapi jika lebih dari itu saya membuatnya di Bandung."
Harga yang diberikan Riany untuk setiap desain sangat relatif. Sekitar Rp 150 ribu sampai Rp 250 ribu perstel. Meski harga ini terbilang kompetitif dengan harga yang ditawarkan pengusaha seragam chef lainnya, Riany tetap optimis menjalankan usahanya. "Saya tidak menganggap mereka sebagai kompetitor. Saya lebih senang menyebutnya teman seperjuangan."
KOMENTAR