Aku berasal dari keluarga tidak mampu di Yogyakarta. Ibuku, Ny. Hadi Purnomo, yang kupanggil Mami, hanya lulusan SD. Untuk menghidupi 7 anaknya, Mami dan Papi membuat tepung beras merah. Aku masih ingat betul mereka membuatnya dengan cara sederhana, ditumbuk dengan lumpang dan alu.
Saat kelas 2 SD, aku ikut membantu Mami menimbang tepung beras merah ukuran 1 ons. Kusendok tepung dari tampah, pelan-pelan dimasukkan ke kantung plastik, lalu ditimbang. Setelah itu, plastik tadi direkatkan dengan cara memanaskannya di atas api lilin. Memasuki usia SMP, aku mulai membantu berjualan tepung beras, sampai ke Klaten, keluar-masuk toko menawarkan barang.
Agar terlihat seperti anak besar, aku mengenakan celana panjang cokelat, satu-satunya celana panjang milikku. Uniknya, Mami selalu berpesan, setelah barang laku, uangnya dimasukkan ke celana dan harus dikasih peniti. Maksudnya, kalau aku ketiduran di angkutan umum, uangnya masih aman karena sulit dirogoh orang jahat.
Siang sepulang sekolah, saat penjual tenongan menyetor uang, aku dan saudara lain siap-siap menemani Mami menghitung berapa kue moci yang laku dan mencatat penerimaan uang. Mami memang rajin sekali membuat catatan. Yang paling sedih adalah kalau pagi-pagi sudah hujan. Itu berarti dagangan tak laku. Tentu saja kami rugi besar karena kue moci tidak bisa dijual lagi keesokan harinya.
Keuntungan dari penjualan kue moci digunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari. Hasilnya memang pas-pasan. Begitu sederhananya hidup kami, bahkan kadang untuk makan keesokan hari saja, bingung. Kendati begitu, orangtuaku berusaha keras agar anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan tinggi. Kata mereka, "Orang bodoh itu menderita. Jangan seperti Papi dan Mami yang bekerja dengan berjualan tenaga. Tidur larut malam, pagi-pagi sekali sudah bangun. Kalian harus jadi orang pintar."
(Bersambung)
Henry Ismono
KOMENTAR