Apalagi, bakat seorang anak tidak bisa dilihat dari beberapa mata pelajaran yang diujikan. Belum lagi, materi yang dipaksakan harus dikuasai siswa tersebut, belum tentu relevan dengan cita-cita si murid. "Masak ada juara olimpiade Fisika di Jawa Tengah tidak lulus UN karena gagal di pelajaran Bahasa Indonesia? Akhirnya, anak itu malah diambil Pemerintah Singapura," sesalnya.
Ferry mengibaratkan pendidikan di Indonesia seperti memasukkan barang ke lemari es. "Tidak tahu kapan barang itu dipakai, jadi basi atau enggak, yang penting dimasukkan dulu."
Belum lagi keprihatinan soal bocoran soal yang kerap mengiringi tiap kali UN. "Saya pernah ditawari seorang anak untuk bisnis bocoran soal. Ini, kan, sudah tidak benar."
Sementara Harsono (29), staf Pemasaran Primagama, justru menyayangkan keputusan MA. "Lalu apa yang akan jadi tolak ukur kemajuan siswa?" Soal adanya ketimpangan sekolah di daerah dengan pusat, tugas Pemerintah menyesuaikan dengan kemajuan pendidikan di setiap wilayah. "Yang penting, harus ada standar supaya kualitas lulusan juga meningkat. Kalau semua bisa lulus dengan mudah, kualitasnya jadi makin mundur."
Kalau toh UN dilarang, Harsono tak pesimis, "Kami masih menunggu keputusan Pemerintah, setelah itu baru menentukan langkah."
Sita
KOMENTAR