"Hari Itu Dia Berseri Bak Bidadari" (2)

Sebagai model, wajah cantiknya pernah menghiasi sampul majalah. Entahlah mengapa ia memilih jadi model. Sebenarnya aku antara setuju dan tidak dia menjadi model. Aku lebih ingin ia menyelesaikan kuliah.

(Menurut Caroline, model sekaligus teman Tia, begitu panggilan Retno di dunia model, ia berkenalan dengan Tia sekitar tiga tahun lalu saat Caroline membantu temannya yang sedang mencari seorang PR. Tia datang ke apartemen Caroline sambil membawa CV. Setelah itu, mereka terlibat ikatan kerja. Bahkan Tia juga menjadi model lepas setahun ini.

Kata gadis berkulit putih ini, Tia sosok yang baik. "Tia enggak pernah mau cari masalah dengan orang lain. Memang orangnya pendiam. Dulu, sih, waktu kami satu apartemen selama setahun, dia masih suka cerita masalah pribadinya.

Tapi setelah Tia memilih kos di daerah Hayam Wuruk, kami enggak begitu dekat lagi. Biasalah, ada sedikit masalah. Mungkin Tia enggak cocok lalu memilih keluar. Sejak itu, kami sempat kehilangan kontak. Baru ketika Tia tinggal di apartemen yang sama dengan saya, beda unit saja, kami kembali dekat.")

Cantik Berseri
Seminggu sebelum kejadian, Retno pulang ke rumah dan menginap selama dua hari. Tak seperti biasanya, kedatangannya kali ini katanya mau mengurus sertifikat rumah ini karena memang belum ada suratnya sejak dibeli tujuh tahun silam. Aku ingat sekali, kami duduk berhadapan di meja makan.

Lalu, Retno juga minta rumah dicat karena selama tujuh tahun ditinggali, belum pernah dicat. "Barang-barang yang enggak perlu, sebaiknya dibuang saja, Bu, lalu kasihkan ke orang. Pokoknya, pengin lihat rumahnya lega," tutur Retno waktu itu. Memang, sih, tadinya rumah ini penuh sekali dengan barang. Rencananya akan diganti dengan yang baru.

Yang membuatku terharu, Retno juga sempat kurban empat ekor kambing. Sepertinya dia ingin menyiapkan semuanya, agar ketika ditinggalkan, semuanya sudah beres dan ibunya bisa hidup tenang.

Seharusnya aku bisa membaca firasat-firasat itu tapi entah kenapa, aku tidak peka. Yang aneh, saat itu ia bilang, semua barang pribadinya boleh diberikan ke orang, kecuali buku-buku semasa SMA-nya. Ketika kutanyakan alasannya, ia hanya tersenyum. Sampai sekarang, semua bukunya ada di kardus dan lemari.

Hari Minggu (8/11), aku dan anak-anak main ke apartemennya di daerah Tanjung Duren, Jakarta Barat. Apartemen tersebut baru saja dikontrak setahun, dari awal November ini, seharga Rp 39 juta yang dibayarnya lunas. Retno memilih tinggal berdua bersama pembantu, Aam, yang baru kerja sehari. Selama di apartemennya kami jalan-jalan ke mal dan makan. Pacarnya, Sony, pun ikut serta.

Kalaupun ada yang "aneh" saat itu, hari itu wajah Retno terlihat beda dari biasanya. Ia seperti bidadari. Cantik dan selalu tersenyum. Pokoknya, di depanku ia terlihat amat cerah. Mungkin gembira karena ketemu aku, ya? Padahal, seminggu sekali aku pasti ke sana. Kadang kalau kuminta ia pulang ke rumah kami, Retno malah memintaku datang ke apartemen karena ia sedang banyak pekerjaan. Sudah beberapa tahun ini Retno memang memilih tinggal terpisah.
(Bersambung)

Noverita K. Waldan

PROMOTED CONTENT