Batik akhirnya diakui UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia. Tanggal 2 Oktober pun ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional. Di hari itu sebagian karyawan berbatik ria. Mudah-mudahan ini bukan tren sesaat. Pasalnya pengakuan itu menjadi harapan besar para perajin batik agar kehidupannya ikut terangkat.
Kampung Laweyan sudah lama dikenal sebagai pusat perajin batik di Solo. Tentu, pengakuan UNESCO itu disambut suka cita warga di sana. "Kami bersyukur batik akhirnya diakui dunia internasional," kata Gunawan Muhamad Nizar (42) juragan batik di Laweyan.
Jauh sebelum ada pengakuan itu, batik mulai dilirik masyarakat Indonesia gara-gara batik diklaim Malaysia. "Jadi klaim itu juga ada nilai positifnya," imbuh Gunawan yang mewarisi usaha ini dari orangtuanya. "Sejak itu batik ada di mana-mana. Hampir semua mal pasti ada rak khusus yang memajang batik. Dulu mana ada seperti itu. "
Padahal, lanjut ayah dua anak ini, masyarakat Jawa sejak bayi sudah bersentuhan dengan batik. "Lahir langsung digendong dengan kian batik. Setelah dewasa, memakai selendang dan kain batik. Bahkan saat meninggal pun ditutup dengan kain batik. Jadi batik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat (Jawa)," tambah Gunawan yang punya 25 orang karyawan mulai bagian pembatik, desainer hingga bagian penjualan itu.
Batik juga jadi motif yang luwes. Batik bisa bisa dipadu-padankan dengan beragam jenis pakaian, jeans sekalipun. "Makin terlihat menarik dan unik.
Bahkan batik lawas pun ada yang suka. "Saya sempat mengambil batik ibu yang sudah dipakai untuk tatakan setrika. Warnanya sudah lusuh. Ketika dipajang, ternyata ada istri pejabat yang berminat. kain itu dibeli Rp 2 juta."
Sambutan yang sama juga diakui Ketua Forum Batik Laweyan, Alpha Febela. Saat ini batik tumbuh kembali setelah sempat mati suri. Itu terlihat, makin banyaknya pengunjung di Rumah Batik, miliknya. Juga mulai bergairahnya pengrajin batik menengah ke bawah di kawasan Laweyan. "Sekarang, para pengrajin batik yang ada di tepi mulai produksi lagi, " papar peraih Upakarti lantaran menjadi pendorong bangkitnya perajin batik di Laweyan.
Fabela memelopori para perajin dengan membuat motif-motif baru tanpa meninggalkan pakem yang ada. "Kalau yang keluar dari pakem itu motifnya abstrak kontemporer," papar Fabela seraya menjelaskan keberadaan batik di Laweyan itu sudah ada sejak tahun 1546 ketika masa Ki Ageng Henis, keturunan Brawijaya V.
Tak hanya corak, pewarnaan juga dikembangkan. "Kami sekarang mencoba warna-warna yang lain.Ternyata digemari oleh masyarakat," sela Edy Mulyono, seniman, pengrajin sekaligus pengajar Seni Batik di Solo.
Gandhi Wasono, Rini Sulistyati
KOMENTAR