Ana dimakamkan tanpa menunggu kedatangan adiknya, Riza (24) yang bekerja sebagai staf KBRI di Oslo, Norwegia. "Saya memang mengabari Riza soal musibah ini. Saya bilang, tak usahlah dia pulang kalau hanya ingin melihat kakaknya untuk yang terakhir kali. Ana, kan, mesti cepat-cepat dimakamkan. Tak boleh lewat 24 jam. Tak mungkin Riza bisa mengejar waktu," papar karyawan Garuda ini.
Musibah di hari Lebaran ini jelas sangat mengguncang perasaan keluarga Darmansyah. "Rencananya, usai salat kami langsung berangkat ke rumah saudara di Cibinong dan Jatinegara. Tapi kami malah mendapat musibah berat," kata Darmansyah.
Hari itu, banyak SMS masuk ke ponsel Darmansyah, mengucapkan selamat Lebaran. "Saya jawab, tapi saya dapat musibah, anak saya dibunuh," katanya penuh duka.
Meski begitu, keluarga ini tak mau terlalu lama larut dalam duka. Seperti dikatakan Asnah, "Sejujurnya, hati saya rasanya seperti teriris. Sakit sekali. Namun, seiring waktu berjalan, mudah-mudahan saya kuat. Saya yakin, pasti ada hikmahnya," ungkap Asnah mencoba tegar.
Sore itu, ketika ditemui di rumahnya (Rabu, 23/9), Asnah dan keluarganya tampak tegar. Mereka sesekali bercerita pada para pelayat yang masih terus berdatangan.
Banyak Bercak Darah
Asnah mencoba mereka-reka kejadian yang menimpa Ana. "Sepeninggal kami, Ana masih main Facebook. Menurut teman-temannya, sekitar jam 07.00, Ana masih menulis di wall. Saya menduga, ketika orang jahat itu masuk, Ana memergoki. Mungkin saja Ana ditanya orang jahat tempat perhiasan, tapi enggak bisa jawab. Lha saya ini enggak punya banyak perhiasan, kok. Saya hanya punya beberapa, terkadang saya taruh saja di bawah kasur."
Menurut Asnah, perampok yang belum diketahui berapa jumlahnya itu, mengacak-acak isi kamar. Laci-laci lemari diobrak-abrik. "Di laci-laci itu ada bercak darah," katanya. Ada kemungkinan, perampok berusaha mencari barang berharga usai menghabisi Ana. "Orang jahat itu juga membawa kabur ATM milik Ana, tapi kami sudah memblokirnya."
Bercak darah juga terlihat tak jauh dari pesawat telepon di ruang tengah. "Seolah-olah Ana mencoba untuk telepon, tapi terus dikejar penjahat. Tapi, kenapa Ana mesti dibunuh?" ujarnya dengan nada tersendat.
Asnah yakin betul, semuanya sudah kehendak Yang Kuasa. Ana yang bekerja di sebuah NGO yang berkantor di kawasan Pasar Minggu (Jaksel), sesekali pulang malam, bahkan dinihari, berkaitan dengan pekerjaannya. "Dia pulang nyupir sendiri tapi selama ini aman-aman saja. Ketika beberapa kali ada kejadian pembunuhan, saya wanti-wanti agar dia hati-hati. Tapi, justru di kamar sendiri, dia mengembuskan napas terakhir karena dibunuh penjahat."
Henry Ismono
KOMENTAR